Perpecahan di Pakualaman mendapatkan tanggapan Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Sultan menyayangkan penobatan Anglingkusumo yang dilakukan warga Adikarta baru dilakukan saat ini. Padahal konflik internal di mana Anglingkusumo ingin menjadi Paku Alam IX telah berlangsung selama 12 tahun. “Kenapa ndak dulu-dulu,” ujar Sultan kepada wartawan di Kepatihan, kemarin (17/4).
Disinggung adanya unsur rekayasa dalam penobatan itu, Sultan tidak membantah. Bahkan, penobatan itu bisa saja dikaitkan dengan belum selesainya pembahasan Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) DIY ataupun isu lainnya. “Bagi saya itu dinamika saja. Kalau dasarnya kekuasaan, apa iya Pemerintah Pusat [menelusuri] sampai sekian jauh?” terang Sultan.
Sultan menambahkan, konflik seperti di Pakualaman tidak akan terjadi di Kraton Ngayogyakarta. Bila di internal Kraton muncul raja kembar seperti yang terjadi di Puro Pakualaman, maka bakal sangat terlihat adanya unsur rekayasa.
“Kraton tidak akan terjadi, karena terlalu mencolok kalau ada rekayasa. Adik-adik dan kakak saya kumpul semua, apalagi sudah 20 tahun lebih,” katanya.
Menurut Sultan, mekanisme penobatan raja di Pakualaman tidak jauh berbeda dengan Kraton Ngayogyakarta, dengan pewarisan dari dinasti satu ke dinasti yang lain. Pengangkatan tahta raja juga dilengkapi dengan atribut keris ataupun pusaka lain. Misalnya di Kraton ada tata cara dengan keris Kiai Joko Piturun, Pakualaman pun kata Sultan juga melakukan hal yang sama saja.
Sementara pengukuhan Anglingkusumo pada Minggu (15/4) lalu di Pantai Glagah dilakukan berbarengan dengan sedekah bumi masyarakat adat tanpa ada serah terima atribut keris dari Pakualaman. Meski begitu, Sultan tidak bisa menilai pengangkatan Anglingkusumo bisa dikatakan sah atau tidak, karena tergantung cara melihatnya.
Tak Runtuh
Terpisah, Ketua Sekber Keistimewaan DIY Widihasto Wasana Putro menganggap tidak ada penobatan KPH Anglingkusumo. Perjuangan keistimewaan DIY tidak bakal runtuh meski ada peristiwa itu. Justru ia menilai penobatan Angling hanya abal-abal belaka.
“Saya kira tidak berpengaruh, itu bukan pengukuhan ataupun pelantikan. Itu hanya orang kumpul kemudian bikin isu. Peristiwa itu tidak signifikan cuma abal-abal saja. Targetnya bangun preseden seolah-olah di Jogja ada masalah,” katanya
Di mata Hasto, penyelenggara penobatan berusaha memunculkan konflik, kontroversi yang akan memengaruhi keistimewaan DIY. Kalangan DPR pun tidak bakal terpengaruh dengan konflik ini.
Widihasto menegaskan, perselisihan putra dalem Pakualaman adalah keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri. Ia justru menyarankan agar Angling membuat Kraton baru dengan gelar yang baru pula.
Terpisah, Anglingkusumo menanggapi dingin semua tuduhan baik rekayasa politik atau hanya pengukuhan Adipati hanya abal-abal. Semua itu dikembalikan kepada masyarakat yang mengukuhkan. Karena ia sama sekali tidak tahu diundang ke Pantai Glagah untuk dinobatkan menjadi raja.
Ia menyadari ada kriteria untuk menjadi Adipati harus ada atribut. Publik juga diminta maklum karena hanya didaulat mendadak. “Yang menetapkan masyarakat Adikarto dan adat Sabang sampai Merauke. Saya enggak tahu, kalau tahu keluarga saya ajak,” terangnya.
Pasca pengukuhan tersebut, Angling akan melanjutkan apa yang sudah diamanatkan masyarakat yakni berjuang di bidang pendidikan dan budaya. Karena menurut Angling, raja bertahta tanpa ada rakyat tidak ada artinya.
Menurut Angling sebagian keluarganya juga mendukung sepenuhnya termasuk istrinya KRAy SM Anglingkusumo. Angling juga tidak memermasalahkan ada dua raja di Pakualaman. Pasalnya kasus serupa juga terjadi di Solo. “Enggak apa-apa dua raja, siapa yang mau legitimasi? Di Solo juga ada dua raja,” cetusnya.
http://www.harianjogja.com/2012/harian-jogja/kota-jogja/paku-alam-kembar-telat-rebutan-tahta-179042