Gunung Merapi itu meletus lagi. Korban jiwa berjatuhan. Salah satu yang menjadi korban tewas adalah Mbah Maridjan, juru kunci alias kuncen Gunung Merapi. Menurut sosiolog UGM Prof Heru Nugroho, sepeninggal Mbah Maridjan, juru kunci Merapi tidak penting lagi. Karena yang lebih penting adalah membuat warga, khususnya di lereng Merapi, merasa terayomi, berpikir rasional dan aman dari aktivitas gunung tersebut.
Berikut ini wawancara detikcom dengan peraih gelar doktor dari Universitas Bielefeld, Jerman, ini, Rabu (27/10/2010):
Mbah Maridjan bertahan di rumahnya meski telah diminta turun akibat aktivitas Merapi. Kira-kira apa yang menyebabkan dia begitu keukeuh?
Sosok Mbah Maridjan ini loyal terhadap apa yang dipercayakan pada beliau oleh Sultan Hamengku Buwono IX. Mbah Maridjan sangat hormat kepada Sultan HB IX karena punya kharisma yang luar biasa. Karena kepercayaan yang diberikan, dan saya rasa Mbah Maridjan tidak terlalu percaya dengan pemerintah sekarang, jadi dia beranggapan tidak perlu mendengar perintah selain dari Sultan HB IX.
Dulu waktu disuruh turun Sultan HB X, kan Mbah Maridjan bilang, yang menyuruh itu kan Gubernur. Sebenarnya itu bentuk sindiran. Dia tidak memiliki trust kepada Sultan sekarang karena dirasa pengayoman kepada masyarakat berbeda jauh dengan yang dilakukan Sultan sebelumnya.
Ini pembangkangan spiritual meskipun dibayar dengan kematiannya. Sepertinya dia ingin menjadi simbol sebagai orang yang bergulat dan mencintai kepercayaan yang telah diberikan.
Apakah warga sekitar mengkultuskan Mbah Maridjan sehingga mereka turut menjadi korban awan panas Merapi karena mengikuti sikap Mbah Maridjan yang bertahan di rumahnya?
Dari sisi rasionalitas, pengetahuan, mungkin ini bentuk irrasionalitas. Tapi kenyataannya Mbah Maridjan memiliki pengikut yang percaya pada Mbah Maridjan. Ini korban sistem tradisional.
Mereka mengikuti Mbah Maridjan bukan tanpa alasan. Karena di mata mereka Mbah Maridjan itu punya integritas. Mungkin nanti kalau ada orang yang punya integritas seperti itu ya akan seperti Mbah Maridjan.
Dari sisi keilmuan kritis, Mbah Maridjan mengkultuskan sosok Sri Sultan HB IX dan dia terbukti dalam pekerjaan punya integritas. Sampai umur 83 tetap mengabdi. Ini pun nantinya akan menjadi contoh buat anak, cucu, orang di sekitarnya. Ini karena sistem kepercayaan.
Memang karakter masyarakat yang tinggal di tempat-tempat seperti lereng Merapi seperti itu?
Saya rasa kuncinya lebih kepada Sultan HB X. Kalau dia bisa menciptakan trust, pasti masyarakat di sana mau mendengarkan dan mau turun. Ini tidak lepas dari perilaku sehari-hari HB X yang dinilai mereka banyak melakukan manuver yang dianggap tidak layak sebagai wong Jowo.
Masyarakat merasa tidak mendapat pengayoman?
Jadi seharusnya pendekatan yang dilakukan itu menggunakan bahasa mereka, lalu masuk dalam sistem kepercayan itu. Jadi bisa mengkomunikasikan. Sosok seperti Mbah Maridjan itu bisa dijadikan alat untuk menyebarluaskan kebijakan pemerintah, tapi pemerintah sekarang tidak seperti itu, sehingga dirasa tidak memberi pengayoman. Demokrasi yang yang disandera elit.
Perlu ada pengganti Mbah Maridjan?
Itu wewenang Kerajaan Yogya. Sejauh pemerintah bisa memberikan penyuluhan dan mengayomi masyarakat, bisa memindahkan mereka (dari lereng Merapi) secara bijaksana, lalu ada jaminan hidup kalau pindah tentu masyarakat tidak akan masalah. Sebab sampai kapan pun Merapi akan muntah terus, dan kalau tersumbat pasti akan meledak. Ada siklus yang harus diikuti. Karena itu, masyarakat harus benar-benar mendapat pemahaman yang baik akan ini.
Mungkin juru kuncinya harus dilengkapi dengan teknologi pemantau kegunungapian?
Saya rasa tidak penting (ada tidaknya juru kunci). Yang penting pemerintah bisa menjelaskan dengan baik bahaya yang mengancam masyarakat, bisa memberikan penjelasan bila mereka dipindahkan dan bisa memberikan jaminan hidup juga. Pemerintah harus bisa menjelaskan dengan baik agar masyarakat mampu berpikir rasional.
http://www.detiknews.com/read/2010/10/27/174836/1476871/158/prof-heru-juru-kunci-merapi-tak-penting-yang-penting-warga-terayomi?nd991107158
Berikut ini wawancara detikcom dengan peraih gelar doktor dari Universitas Bielefeld, Jerman, ini, Rabu (27/10/2010):
Mbah Maridjan bertahan di rumahnya meski telah diminta turun akibat aktivitas Merapi. Kira-kira apa yang menyebabkan dia begitu keukeuh?
Sosok Mbah Maridjan ini loyal terhadap apa yang dipercayakan pada beliau oleh Sultan Hamengku Buwono IX. Mbah Maridjan sangat hormat kepada Sultan HB IX karena punya kharisma yang luar biasa. Karena kepercayaan yang diberikan, dan saya rasa Mbah Maridjan tidak terlalu percaya dengan pemerintah sekarang, jadi dia beranggapan tidak perlu mendengar perintah selain dari Sultan HB IX.
Dulu waktu disuruh turun Sultan HB X, kan Mbah Maridjan bilang, yang menyuruh itu kan Gubernur. Sebenarnya itu bentuk sindiran. Dia tidak memiliki trust kepada Sultan sekarang karena dirasa pengayoman kepada masyarakat berbeda jauh dengan yang dilakukan Sultan sebelumnya.
Ini pembangkangan spiritual meskipun dibayar dengan kematiannya. Sepertinya dia ingin menjadi simbol sebagai orang yang bergulat dan mencintai kepercayaan yang telah diberikan.
Apakah warga sekitar mengkultuskan Mbah Maridjan sehingga mereka turut menjadi korban awan panas Merapi karena mengikuti sikap Mbah Maridjan yang bertahan di rumahnya?
Dari sisi rasionalitas, pengetahuan, mungkin ini bentuk irrasionalitas. Tapi kenyataannya Mbah Maridjan memiliki pengikut yang percaya pada Mbah Maridjan. Ini korban sistem tradisional.
Mereka mengikuti Mbah Maridjan bukan tanpa alasan. Karena di mata mereka Mbah Maridjan itu punya integritas. Mungkin nanti kalau ada orang yang punya integritas seperti itu ya akan seperti Mbah Maridjan.
Dari sisi keilmuan kritis, Mbah Maridjan mengkultuskan sosok Sri Sultan HB IX dan dia terbukti dalam pekerjaan punya integritas. Sampai umur 83 tetap mengabdi. Ini pun nantinya akan menjadi contoh buat anak, cucu, orang di sekitarnya. Ini karena sistem kepercayaan.
Memang karakter masyarakat yang tinggal di tempat-tempat seperti lereng Merapi seperti itu?
Saya rasa kuncinya lebih kepada Sultan HB X. Kalau dia bisa menciptakan trust, pasti masyarakat di sana mau mendengarkan dan mau turun. Ini tidak lepas dari perilaku sehari-hari HB X yang dinilai mereka banyak melakukan manuver yang dianggap tidak layak sebagai wong Jowo.
Masyarakat merasa tidak mendapat pengayoman?
Jadi seharusnya pendekatan yang dilakukan itu menggunakan bahasa mereka, lalu masuk dalam sistem kepercayan itu. Jadi bisa mengkomunikasikan. Sosok seperti Mbah Maridjan itu bisa dijadikan alat untuk menyebarluaskan kebijakan pemerintah, tapi pemerintah sekarang tidak seperti itu, sehingga dirasa tidak memberi pengayoman. Demokrasi yang yang disandera elit.
Perlu ada pengganti Mbah Maridjan?
Itu wewenang Kerajaan Yogya. Sejauh pemerintah bisa memberikan penyuluhan dan mengayomi masyarakat, bisa memindahkan mereka (dari lereng Merapi) secara bijaksana, lalu ada jaminan hidup kalau pindah tentu masyarakat tidak akan masalah. Sebab sampai kapan pun Merapi akan muntah terus, dan kalau tersumbat pasti akan meledak. Ada siklus yang harus diikuti. Karena itu, masyarakat harus benar-benar mendapat pemahaman yang baik akan ini.
Mungkin juru kuncinya harus dilengkapi dengan teknologi pemantau kegunungapian?
Saya rasa tidak penting (ada tidaknya juru kunci). Yang penting pemerintah bisa menjelaskan dengan baik bahaya yang mengancam masyarakat, bisa memberikan penjelasan bila mereka dipindahkan dan bisa memberikan jaminan hidup juga. Pemerintah harus bisa menjelaskan dengan baik agar masyarakat mampu berpikir rasional.
http://www.detiknews.com/read/2010/10/27/174836/1476871/158/prof-heru-juru-kunci-merapi-tak-penting-yang-penting-warga-terayomi?nd991107158
No comments:
Post a Comment