PELAT nomor dan selebor sepeda motor bebek Sujiwo, salah seorang guru SDN Gunung Agung yang mengantarkan saya menuju ke rumah Drs Parman (49), tampak bergetar keras. Sebuah tanda-tanda yang wajar karena tiap hari kendaraan itu berjuang dengan batu-batu jalanan menuju sekolahnya yang terpencil.
Tapi, apa yang kami alami ini memang belum seberapa dibanding dedikasi Drs Parman yang menempuh perjalanan kaki pulang pergi sejauh 30 km dengan kondisi jalan lebih buruk, sejak 1984 hingga 1992 ke sekolahnya. Bahkan, pada tahun-tahun awal Parman dan rekan-rekannya membuat sendiri kursi dan bangku sekolahnya.
Cerita itu dimulai ketika tahun 1984, Parman yang baru saja diangkat menjadi guru agama SD berstatus pegawai negeri sipil (PNS), cukup bergembira meski gaji pokoknya hanya Rp 16.700. Dengan status barunya itu, Parman muda yang terbiasa mandiri dan prihatin sejak kecil, bersyukur karena pendapatan tetap itu bisa untuk membayar uang semesteran kuliahnya Rp 21.000.
Maka, ketika Dinas Pendidikan Kabupaten Kulonprogo memberikan surat perintah tugas di Dusun Plampang, Desa Kalirejo, Kecamatan Kokap, dengan senang hati pun diterima. Saat itu Parman bersama tiga rekannya sesama guru, ditugaskan mengurus sekolah di kawasan itu.
Namun, tugas perdana itu memang tidak seperti dibayangkan Parman sebelumnya. Lokasi sekolah tersebut ternyata sangat jauh dan terpencil. Jika dihitung dari pusat Kecamatan Kokap, masih sekitar 19 km atau sekitar 60 km dari Kota Yogyakarta.
Itu pun harus melalui medan yang sangat berat, pasalnya lokasi yang dimaksud berada di perbukitan yang mengelilingi Waduk Sermo. Jalan setapak berliku dan menanjak, ia lewati dengan berjalan kaki karena mustahil menggunakan kendaraan bermotor di jalur perbukitan semacam itu.
Suatu hal yang lebih mengejutkan lagi, sesampai lokasi yang dimaksud, ternyata tidak ada tanda-tanda adanya sekolah di sana. “Ternyata pendirian SD di sana itu baru wacana, jadi memang belum ada bentuk fisik sama sekali. Nah kami ini diminta untuk babat alas,” ujar pria berpembawaan kalem itu, saat ditemui di rumahnya, Siluwok Kidul, Desa Tawangsari Kecamatan Pengasih, Senin (3/5).
Kondisi demikian tentu menuntut kerja keras. “Beruntung waktu itu ada Pak Kardi dan Pak Subari yang ditugaskan di situ bersama saya. Sedang rekan saya yang satu lagi karena perempuan, dipindah di UPT kecamatan,” kata peraih penghargaan Guru Berdedikasi Daerah Terpencil tingkat nasional tahun 2007 itu.
Langkah pertama mereka adalah mencari ruang yang bisa dipergunakan untuk belajar. Kemudian, salah seorang warga Sontoarjo (70) merelakan rumahnya yang berukuran 8 x 7 meter untuk disekat menjadi dua ruang. Di rumah sederhana berdinding gedhek itulah 80 murid angkatan pertama SDN Gunung Agung sejak Juni 1984 mulai belajar. Nama Gunung Agung sendiri diambil dari nama salah satu bukit yang berada di sekitar sekolah.
Bersama dua orang rekannya Parman sadar jika ruang semacam itu masih jauh dari memadai. Kemudian dengan ikhtiar menyediakan sarana prasarana yang lebih layak, ia menghimpun bantuan dari wali murid. Bantuan yang datang ini berupa bambu, kayu, atau gelugu. Kemudian dimulailah para guru baru, Mbah Sontoarjo dan sejumlah warga sekitar membuat meja, kursi, papan tulis, dan semacamnya.
Tiga Lokal Kelas
Segala keterbatasan alat dan ruang itu terus digunakan, sampai sekitar 1,5 tahun. Karena baru pada 1985 pemerintah membuat tiga lokal kelas. Setelah ruang kelas jadi, baru ada bantuan sarpras. Pembangunan itu pun bukan kerja yang muda, karena mobil pengangkut material tidak bisa sampai lokasi. “Harus diteruskan dengan tenaga manusia sejauh empat kilometer lewat jalan setapak. Kalau dihitung-hitung harga ongkos angkutnya lebih mahal daripada materialnya sendiri,” ujar pria kelahiran 4 Juni 1960 itu.
Menurut Parman, pendirian ruang-ruang tersebut pun tidak lepas dari peran serta masyarakat sekitar. Tanah tempat SDN Gunung Agung berdiri pun merupakan tanah wakaf dari Jo Utomo (90) yang merupakan ayah Sontoarjo.
“Sama Pak Lurah sebenarnya mau diganti tetapi Mbah Jo tidak mau. Dia Ikhlas, karena sadar di sana butuh sekolah,” ujar bapak dua anak itu.
Saat itu banyak penduduk Dusun Plampang yang terlambat bersekolah. Pasalnya, SD terdekat berjarak empat kilometer dan harus naik turun bukit dengan jalanan yang diapit tebing-tebing curam. “Banyak yang 10 tahun belum masuk SD. Karena memang kondisinya sulit, mau melepas sendiri tidak tega, kendaraan juga tidak bisa mengantar mereka. Makanya saat ada sekolah baru meski dengan segala keterbatasan, mereka sangat antusias,” imbuhnya.
Bagi Parman cerita tidak berhenti sampai gedung sekolah berdiri saja. Karena berdirinya gedung sekolah belum dilengkapi dengan sarana jalan yang memadai. Parman yang saat itu masih tinggal di Dusun Sangkrek Desa Hargorejo, Kecamatan Kokap harus pulang pergi berjalan kaki sejauh 30 km untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang guru. “Selepas subuh saya sudah berangkat,” imbuh sosok yang sangat bersahaja itu.
Rutinitas itu berjalan selama tahun 1984 hingga 1992. Jalan menanjak, tanah becek sudah menjadi makanan sehari-harinya.
“Persoalannya bukan apa-apa. Mau beli motor belum kuat. Lagi pula kalau pakai motor pun masih harus berjalan empat kilometer lagi. Seperti Pak Subari itu, dia sudah punya motor duluan. Motor dititipkan rumah mantan lurah terus jalan ke atas empat kilometer,” ujarnya.
Kebiasaan itu, menurut Parman, dilakoninya dengan senang hati, meski selama perjalanan ia tidak pernah membawa bekal. “Yang bikin takut itu ya banyak anjing, dan boros sepatu,” terang Parman yang sepatunya selalu rusak tiap enam bulan itu.
Tahun 1988 Parman lulus dari IAIN Sunan Kalijaga, dan bergelar doktorandus untuk Pendidikan Agama Islam. Lepas sebeban kuliah, Parman bisa sedikit menabung. Tahun 1992 berani membeli sepeda motor. “Itu saja saya kredit dari koperasi, sepeda motor Yamaha L2 Super yang saya kredit pun sudah seken,” tuturnya.
Sepeda Motor
Dengan mempunyai sepeda motor, perjalanan kaki Parman tinggal empat kilometer. Setelah sebulan punya kendaraan, ia baru berani menikahi Dra Sulastri yang kini menjadi guru Bahasa Indonesia di SMA 3 Bantul.
Sampai 1997 jalan menuju SDN Gunung Agung masih berupa setapak dan belum ada kendaraan sampai ke sekolah. Baru sekitar 2005 dilakukan pengerasan jalan dan jalur cone block. Meski saat ini jalur itu sudah umum dilewati sepeda motor, namun jalur tersebut masih jauh dari nyaman.
Selain itu, SDN Gunung Agung pun belum mempunyai saluran listrik sendiri. “Listrik yang ada sekarang ini ngganthol dengan kabel sepanjang empat kilometer. Kalau menghidupkan komputer saja tidak bisa,” cerita guru yang sejak Oktober 2009 lalu dipindah menjadi Kepala SDN Sungapan, Desa Hargotirto.
Terkait dengan hal semacam itu, Parman mengimbau pemerintah supaya bisa memahami betul kondisi sekolah-sekolah terpencil. “Pemerintah sebaiknya bisa melihat langsung kondisi sekolah terpencil. Jangan cuma percaya laporan saja. Yang patut dipikirkan juga selain sarpras fisik sekolah, adalah perbaikan akses menuju sekolah,” terangnya.
Pernyataan Parman memang bukan sekadar omong kosong. Wajar jika ia punya unek-unek semacam itu. Selama 25 tahun ia telah mendedikasikan diri pada SDN Gunung Agung, tanpa imbalan lebih dari haknya sebagai PNS.
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/05/04/108200/Delapan-Tahun-Jalan-30-KmHari-untuk-Ngajar
No comments:
Post a Comment