“Aku kan sudah enggak punya bapak. Makanya aku saja yang jadi bapak. Bapak kecil.” Kalimat itu meluncur dari bibir Farel Yanas Nasrullah, putra Yanti, perempuan yang sejak beberapa waktu lalu ditinggal suami untuk selama-lamanya.
Sejak menyadari dirinya anak lelaki satu-satunya dan merasa harus menjaga ibu, kakak perempuan dan adik gadisnya, bocah berumur 10 tahun itu memutuskan menjadi pemijat cilik yang berkeliling ke beberapa tempat.
“Enggak ada yang ngajarin saya mijit. Cuma suka lihat simbah yang suka mijit orang-orang. Setelah bapak enggak ada, saya mau kerja, jadinya saya mijit orang. Supaya enggak nyusahin ibu lagi. Udah banyak yang saya pijat, ada mas-mas kost. Kadang saya juga ke Saphir atau Bioskop yang di Demangan itu. Biasanya saya tanya, mas capek enggak? Mau dipijat enggak,” tutur Farel dengan lugas ketika ditemui Harian Jogja di rumahnya Selasa (4/5).
Secara detail, lelaki kecil yang masih kelas 4 di SDN Demangan, Jogja, itu menuturkan pekerjaanya dimulai setelah aktivitas sekolahnya. Begitu pulang, makan siang dan salat, ia langsung menuju ke tempat ia 'dinas'. Dengan berjalan kaki, dia menuju Saphir hingga Teater XXI di Jalan Solo.
Ditanya mengenai perasaannya saat bekerja sebagai tukang pijit cilik, dia mengaku sama sekali tidak malu. Menurutnya lebih penting cari uang daripada merasa malu. Sedangkan untuk masalah preman, dia mengaku pernah hampir diculik.
“Waktu saya jalan pulang, kayak ada orang yang ngikuti dari belakang. Rambutnya gondrong, serem gitu. Karena takut, saya lari. Untung di dekat sana ada pos polisi. Waktu bilang pak polisi dan noleh, premannya sudah tidak ada,” paparnya.
Meski, mengalami pengalaman yang mendebarkan, Farel sama sekali tidak merasa jera. Dia ingin terus bekerja. Jika sudah masuk SMP, bocah ini ingin juga bekerja dan memilih menjadi tukang parkir.
Dalam sehari Farel biasa 'berdinas' 1-2 jam. Usai menjalani aktivitas dinasnya itu, dia akan pulang ke rumah. Tak lazimnya anak-anak seusianya yang biasa bobo siang, begitu tiba di rumah, Farel justru bermain bersama adiknya yang berusia 7 tahun atau dengan teman-teman sebayanya.
“Kalau pulang ya langsung main. Tapi sebelumnya selalu memberikan uang ke saya, hasil mijit itu. Sama saya, uangnya langsung tak tabung di Bank. Sekarang uang Farel sudah ada Rp9 jutaan,” jelas Yanti.
Lebih lanjut, perempuan berambut sebahu ini pada awalnya merasa keberatan dengan aktivitas Farel. Bagaimana tidak, perjalanan dari rumahnya yang berada di belakang UIN Sunan Kalijaga di Sapen, sampai ke Saphir atau XXI merupakan jalanan ramai kendaraan lalu lalang dan rawan premanisme.
Setelah diyakinkan Farel bahwa bocah itu dapat menjaga diri, Yanti merasa lega dan memberikan kepercayaan pada anak keduanya itu.
Yanti mencari nafkah sehari-hari dengan penjahit dan membuka kios kecil di rumah. Dari penghasilannya itu, sebenarnya ia dapat menutup setiap pengeluaran rumah tangga sampai dengan uang sekolah ketiga anaknya.
Namun, melihat kegigihan Farel, Yanti sadar tidak dapat menghalangi keinginan putranya untuk mandiri.“Farel tidak pernah jajan atau minta uang ke saya. Uang yang dia dapat selain diberikan ke saya, juga dibuat beli barang-barang keperluan sekolah seperti buku. Pernah Farel beli baju untuk saya, mbak dan adiknya,” tambah dia.
Hanya saja, Yanti menegaskan pekerjaan putranya itu akan dibatasi hingga kelas 5 SD. Jika sudah kelas 6, Farel tidak akan diizinkan lagi memijat lagi agar fokus pada les dan pelajaran untuk kelulusan. “Ya kalau enggak boleh juga enggak apa-apa. Kan nanti bisa diam-diam,” cetus Farel sambil tertawa kecil.
http://harianjogja.com/web2/beritas/detailberita/14499/pemijat-cilik-semangat-besarview.html
Sejak menyadari dirinya anak lelaki satu-satunya dan merasa harus menjaga ibu, kakak perempuan dan adik gadisnya, bocah berumur 10 tahun itu memutuskan menjadi pemijat cilik yang berkeliling ke beberapa tempat.
“Enggak ada yang ngajarin saya mijit. Cuma suka lihat simbah yang suka mijit orang-orang. Setelah bapak enggak ada, saya mau kerja, jadinya saya mijit orang. Supaya enggak nyusahin ibu lagi. Udah banyak yang saya pijat, ada mas-mas kost. Kadang saya juga ke Saphir atau Bioskop yang di Demangan itu. Biasanya saya tanya, mas capek enggak? Mau dipijat enggak,” tutur Farel dengan lugas ketika ditemui Harian Jogja di rumahnya Selasa (4/5).
Secara detail, lelaki kecil yang masih kelas 4 di SDN Demangan, Jogja, itu menuturkan pekerjaanya dimulai setelah aktivitas sekolahnya. Begitu pulang, makan siang dan salat, ia langsung menuju ke tempat ia 'dinas'. Dengan berjalan kaki, dia menuju Saphir hingga Teater XXI di Jalan Solo.
Ditanya mengenai perasaannya saat bekerja sebagai tukang pijit cilik, dia mengaku sama sekali tidak malu. Menurutnya lebih penting cari uang daripada merasa malu. Sedangkan untuk masalah preman, dia mengaku pernah hampir diculik.
“Waktu saya jalan pulang, kayak ada orang yang ngikuti dari belakang. Rambutnya gondrong, serem gitu. Karena takut, saya lari. Untung di dekat sana ada pos polisi. Waktu bilang pak polisi dan noleh, premannya sudah tidak ada,” paparnya.
Meski, mengalami pengalaman yang mendebarkan, Farel sama sekali tidak merasa jera. Dia ingin terus bekerja. Jika sudah masuk SMP, bocah ini ingin juga bekerja dan memilih menjadi tukang parkir.
Dalam sehari Farel biasa 'berdinas' 1-2 jam. Usai menjalani aktivitas dinasnya itu, dia akan pulang ke rumah. Tak lazimnya anak-anak seusianya yang biasa bobo siang, begitu tiba di rumah, Farel justru bermain bersama adiknya yang berusia 7 tahun atau dengan teman-teman sebayanya.
“Kalau pulang ya langsung main. Tapi sebelumnya selalu memberikan uang ke saya, hasil mijit itu. Sama saya, uangnya langsung tak tabung di Bank. Sekarang uang Farel sudah ada Rp9 jutaan,” jelas Yanti.
Lebih lanjut, perempuan berambut sebahu ini pada awalnya merasa keberatan dengan aktivitas Farel. Bagaimana tidak, perjalanan dari rumahnya yang berada di belakang UIN Sunan Kalijaga di Sapen, sampai ke Saphir atau XXI merupakan jalanan ramai kendaraan lalu lalang dan rawan premanisme.
Setelah diyakinkan Farel bahwa bocah itu dapat menjaga diri, Yanti merasa lega dan memberikan kepercayaan pada anak keduanya itu.
Yanti mencari nafkah sehari-hari dengan penjahit dan membuka kios kecil di rumah. Dari penghasilannya itu, sebenarnya ia dapat menutup setiap pengeluaran rumah tangga sampai dengan uang sekolah ketiga anaknya.
Namun, melihat kegigihan Farel, Yanti sadar tidak dapat menghalangi keinginan putranya untuk mandiri.“Farel tidak pernah jajan atau minta uang ke saya. Uang yang dia dapat selain diberikan ke saya, juga dibuat beli barang-barang keperluan sekolah seperti buku. Pernah Farel beli baju untuk saya, mbak dan adiknya,” tambah dia.
Hanya saja, Yanti menegaskan pekerjaan putranya itu akan dibatasi hingga kelas 5 SD. Jika sudah kelas 6, Farel tidak akan diizinkan lagi memijat lagi agar fokus pada les dan pelajaran untuk kelulusan. “Ya kalau enggak boleh juga enggak apa-apa. Kan nanti bisa diam-diam,” cetus Farel sambil tertawa kecil.
http://harianjogja.com/web2/beritas/detailberita/14499/pemijat-cilik-semangat-besarview.html
No comments:
Post a Comment