Enam pria berjalan menuju kompleks Buk Tape. Namun, sampai di gerbang mereka terkejut ketika membaca kalimat di sebuah poster yang ditempel di pintu masuk, Lokalisasi WTS Desa Ngadilangkung Ditutup Selamanya. Tulisan yang sama ditempel di beberapa sudut lokalisasi yang terletak di Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang itu.
“Lho, kok tutup? Saya tidak tahu hari ini ditutup,” kata salah satu dari para pria itu.
Pantas mereka tidak mendengar apa-apa sebelumnya. Penutupan Buk Tape berjalan damai. Pemkab Malang sukses mengantar penutupan itu tanpa gejolak. Melalui rangkaian panjang pertemuan dengan Pemkab, para mucikari sepakat menutup wismanya untuk kegiatan prostitusi paling lambat, 25 November 2010.
Kemarin, petugas Satpol PP nampak menurunkan neon sign nama wisna yang disponsori merek kondom terkenal. Petugas juga blusukan ke dalam wisma untuk memastikan tidak ada aktivitas di dalamnya.
Beberapa pemilik wisma sudah mengantisipasi. Kasur-kasur dan bantal kapuk yang sudah tipis ditumpuk di depan wisma seolah menjadi bukti tidak ada aktivitas intim di dalam wisma. “Sesuai kesepakatan kemarin (26/11), kami menutup tempat ini untuk PSK. Apalagi tempat ini juga berada di tengah pemukiman,” jelas Bambang Sumantri, Kepala Satpol PP Kabupaten Malang ketika memberitahu sejumlah pemilik wisma.
Meski jelas merugi, pemilik wisma pasrah. Namun Bambang sempat meyakinkan mereka bahwa pemerintah tidak diam saja karena dinas teknis pasti membantu jika mereka mau dibina, seperti lewat Dinsos, Disnakertrans atau Dinas Koperasi dan UMKM. “Pemkab akan welcome jika mereka (PSK) mau dilatih agar mendapatkan penghasilan yang halal. Kalau sudah ditutup, tolong tidak ada praktik terselubung,” tandas Bambang.
Terakhir sebelum ditutup, di Buk Tape tinggal 24 wisma dengan 60 PSK. Setiap wisma biasanya memiliki kamar antara 3-6 kamar. Beda dengan umumnya lokalisasi, para PSK ini tidak menetap di wisma itu. Mereka yang rata-rata berusia 21-45 tahun ini hanya ‘ngantor’ di wisma sejak pagi hingga sore.
Dari 60 PSK itu, sebanyak 80 persen merupakan warga Kabupaten Malang dan sisanya warga Kabupaten Blitar dan Kota Malang dan hanya datang untuk berpraktik. Dalam bisnis ini, pemilik wisma mendapat Rp 10.000 dari satu transaksi.
“Kalau sedang ramai, hanya mendapat Rp 50.000,” kata Sri, salah satu pemilik wisma. Kalau sepi, ia mengandalkan dua anaknya yang bekerja di pabrik rokok dan tukang parkir.
Nanang, Koordinator Lokalisasi Buk Tape menambahkan, aktivitas di situ sudah tidak ada sejak, Senin (22/11). “Soal nanti dari kami akan ada yang dilatih keterampilan lain, kami juga senang karena bisa mendapat penghasilan baru,” kata Nanang.
Kades Ngadilangkung, Abdul Majid, juga berjanji mendekati salah satu pabrik rokok ternama di sekitar situ agar bisa memanfaatkan eks wisma itu untuk kos karyawan. “Ini kan dalam rangka mencari solusi, karena kebetulan ini kan lingkungan pabrik,” kata kades muda ini.
Ia menjelaskan, setelah keputusan penutupan Buk Tape, jumlah PSK menurun. “Kalau biasanya 60 PSK, akhirnya tinggal 42 PSK. Jumlah pengunjung pun turun. Ini bisa dilihat dari jumlah motor yang parkir. Biasanya sehari 150 motor, tinggal 80 motor,” ungkap Nanang.
Bupati Malang Rendra Kresna mengakui, ada dilema ketika memutuskan penutupan Buk Tape, misalnya soal kesehatan yang tidak terpantau bila PSK menjadi liar.
“Kalau ternyata ada yang penyakitan dan menularkan ke orang lain, bagaimana? Tapi penutupan harus dilakukan,” tegas Rendra kemarin.
Sebelumnya, PCNU Kabupaten Malang bersedia membimbing para PSK di pondok-pondok pesantren. Sekretaris PCNU Kabupaten Malang, Abdul Mujib Syadzili, mengatakan, pihaknya juga siap bekerja sama dengan Dinas Sosial. “Mereka diberi pelatihan mengaji. Kalau dibiarkan, mereka bisa kembali jadi PSK,” ungkap Gus Mujib.
Menurut cerita, Buk Tape menjadi sebutan karena di pintu gerbang (buk) desa itu dulu banyak penjual tape. Mereka mangkal di situ atau menunggu angkutan yang membawa mereka ke tempat jualan.
Penutupan Buk Tape sebenarnya sudah digagas sejak 1979, ketika Bupati Suwignyo menerbitkan surat keputusan penutupan. Namun praktik prostitusi itu tidak bisa dihentikan. Pada 1994, Bupati Abdul Hamid bertindak, namun lagi-lagi gagal. Pada 1997, lokalisasi ini mencapai kejayaan karena menampung ratusan pekerja seks. Namun, pada 1999, warga marah, dan sempat akan membakar lokalisasi ini.
Pada 2006, sejumlah anggota DPRD Kabupaten Malang getol menyosialisasikan penutupan Buk Tape lagi, saat angka pengidap HIV AIDS meroket. Kini, di awal pemerintahan Rendra Kresna, tempat tersebut akhirnya resmi ditutup.
Kepala Bagian Humas Pemkab Malang Suroto mengatakan, penutupan paksa tersebut dilakukan karena kawasan tersebut akan ditata ulang dan dijadikan pusat kota (ibu kota) wilayah Kabupaten Malang.
“Sengaja kami lakukan penutupan paksa, sebab lokalisasi yang berada di Desa Ngadilakung sudah masuk Ibu Kota Kabupaten Malang, dan juga sebagai rangkaian rencana penataan Kota Kepanjen,” kata Suroto ditemui usai melakukan operasi penutupan di Pendopo Kabupaten Malang.
Ia menjelaskan, penutupan tersebut dilakukan oleh aparat gabungan yang terdiri dari Satpol PP, Polsek Kepanjen dan Koramil. “Ada sekitar 70 orang gabungan yang diterjunkan dalam penutupan ini,” katanya.
Selain itu, penutupan ini juga dilakukan terkait adanya keluhan warga di sekitar lokalisasi yang terganggu dengan adanya sktivitas lokalisasi tersebut. “Penutupan ini merespons keluhan masyarakat yang merasa terganggu oleh operasional lokalisasi di tengah permukiman tersebut,” kata Suroto.
Kepala Satpol PP Kabupaten Malang, Bambang Sumantri mengatakan, dalam penutupan paksa tersebut tidak ada perlawanan dari para Pekerja Seks Komersial (PSK), sebab saat dilakukan operasi penutupan tidak ada satu pun PSK yang berada di tempat. Sementara itu berdasarkan data Pemkab Malang, total PSK yang berada di tempat tersebut mencapai 73 orang dan 28 mucikari. “Kami tidak tahu kemana mereka saat ditutup,” kata Bambang.
http://www.surya.co.id/2010/11/27/setelah-31-tahun-lokalisasi-buk-tape-kepanjen-akhirnya-ditutup.html
No comments:
Post a Comment