Denyut kehidupan Dolly di Jalan Kupang Gunung Timur I sepanjang 150-an meter di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, dimulai saat petang. Demikian pula sepanjang Jalan Jarak—jalan utama kawasan pelesiran terbesar di Surabaya ini.
Ketika hari beranjak gelap, lampu di puluhan wisma Gang Dolly yang berderet di kiri-kanan jalan itu menyala. Sinar gemerlapan menyoroti tubuh-tubuh perempuan yang duduk mejeng di kursi sofa dalam etalase dengan dinding kaca tembus pandang.
Ratusan orang berjalan kaki hilir mudik sambil celingukan memelototi para perempuan berdandan seksi yang dipajang bak dagangan itu. Mereka—biasa disebut pekerja seks komersial (PSK)—memperlihatkan ekspresi malu, cemas, sekaligus menggoda. ”Bos, mampir, bos. Hanya Rp 80.000, pelayanan dijamin oke. Karaoke atau Minakjinggo. Miring penak, jengking monggo!” Begitu para makelar itu berlomba menawarkan ”dagangannya” dengan sapaan sok akrab sambil menyeret lengan orang-orang yang lewat.
Etalasenya mirip dengan etalase hidup di Zeedijk, distrik lampu merah dan pelacuran terkenal dekat Centraal Station, stasiun besar di kota Amsterdam, Belanda. Akan tetapi, jika di Zeedijk para penjaja seksnya berpose berdiri di etalase dan lenggang-lenggok seperti di catwalk, maka di Dolly mereka duduk berjajar di sofa empuk, di balik etalase di pinggir jalan. Disorot lampu terang benderang....
Setelah itu, semuanya berlangsung singkat. Pengunjung yang berhasrat tinggal menunjuk perempuan yang diminati. Makelar—di beberapa wisma bahkan memakai seragam batik lengan pendek—segera menuntun si tamu ke ” kamar praktik” di wisma.
Bersamaan dengan roda bisnis seks yang berputar, ekonomi rakyat juga berdenyut. Itu terlihat dari ratusan mobil dan motor yang memenuhi teras rumah penduduk yang disulap jadi lahan parkir. Tarif parkir mobil sekitar Rp 20.000, motor Rp 3.000. Jika menginap, tarifnya bisa berlipat.
Para penjaja makanan, penganan kecil, minuman, dan rokok tak mau ketinggalan. Jalan yang sesak itu pun menjadi riuh oleh ”teng-teng” tukang nasi goreng, kepulan asap tukang sate, atau dentingan minuman keras. Taksi, becak, bahkan pengemis pun turut memeriahkan jalanan sempit itu. ”Sudah lima tahun saya jualan di sini. Pendapatan kotor rata-rata Rp 400.000 per malam,” kata Supin (46), pedagang kaki lima yang menjual aneka minuman dan rokok di Jalan Jarak, di ujung Gang Dolly.
Suasana di lokalisasi Jarak, yang tersebar di perkampungan padat di seberang Dolly, juga begitu. Tak hanya malam hari, perputaran ekonomi juga menggeliat pada pagi dan siang hari, ketika para PSK sedang beristirahat. Saat itu, banyak ibu rumah tangga mencucikan baju para PSK, pedagang pakaian menawarkan pembelian kredit, dan para pedagang minuman memasok bir atau bermacam minuman keras lain. ”Cuci satu baju Rp 1.000, celana panjang Rp 1.500, satu singlet Rp 500. Satu hari, saya bisa dapat Rp 30.000,” kata Narti (37), warga Putat Jaya yang menekuni jasa cuci baju sejak lima tahun terakhir.
Keramaian di Dolly dan Jarak menggambarkan, betapa banyak orang yang kecipratan rezeki. Keberadaan bisnis seks itu telanjur memberikan mutiplying effect (dampak berganda) yang menghidupkan ekonomi rakyat setempat. Pada titik tertentu, bahkan sebagian masyarakat sudah menggantungkan kebutuhan hidup dari situ.
Miliaran rupiah
Kawasan Dolly, yang mencakup RW 12 dan RW 6 dan hanya sepanjang sekitar 150 meter, diperkirakan mempunyai 55 wisma dan sekitar 530 PSK. Masing-masing wisma menampung sekitar 10-30 PSK. Itu menurut data terakhir yang dihimpun Yayasan Abdiasih, lembaga swadaya masyarakat di Dolly. Di lokalisasi Jarak di perkampungan seberang Dolly yang seluas sekitar tiga hektar, itu ada 400-an wisma dengan 2.155 PSK yang tersebar di RW 10, RW 11, dan RW 3.
Jika Dolly identik dengan jasa seks bagi kalangan kelas menengah, Jarak lebih murah dan banyak didatangi kelas bawah. Jasa PSK di Dolly sekitar Rp 70.000- Rp 130.000 untuk sekali kencan selama satu jam. Di Jarak, tamu hanya perlu merogoh kocek Rp 60.000-Rp 70.000 sekali kencan.
Sebenarnya berapa jumlah uang yang beredar di Dolly-Jarak setiap malam?
Jika satu PSK melayani sekitar 10 tamu per malam dengan tarif rata-rata Rp 100.000 sekali kencan, uang yang beredar di Dolly sekitar Rp 530 juta per malam. Dengan penghitungan satu PSK di Jarak punya tiga tamu dengan tarif Rp 70.000 sekali kencan, maka transaksi bisnis seks di situ mencapai Rp 452,55 juta per malam.
Jadi, total uang yang beredar di Dolly dan Jarak mencapai Rp 982,55 juta per malam. Jika hitungan itu diperpanjang selama satu bulan, total peredaran uang di dua kawasan itu berkisar Rp 29,476 miliar per bulan! Itu pun hanya menghitung jasa pelayanan seks oleh PSK, belum mencakup penjualan minuman, makanan, dan lain-lain yang mencapai ratusan juta rupiah.
Taruhlah jika satu wisma menjual dua kerat bir seharga sekitar Rp 250.000 per kerat, maka total transaksi penjualan bir dari 455 wisma di Dolly-Jarak mencapai Rp 227,5 juta per malam. ”Itu hitungan minimal. Pendapatan kami dari menjual bir malah sering Rp 1 juta per malam,” kata Bambang (42), pengelola wisma dan karaoke di kawasan Dolly.
Roda ekonomi miliaran rupiah itu berpangkal pada jasa pelayanan seks oleh PSK. Dari total tarif jasa pelayanan kencan, seorang PSK rata-rata hanya menerima separuhnya, bahkan kurang. Separuh lagi masuk kantong germo atau muncikari. Sebagian kecil disimpan sebagai laba bersih, sebagian lagi untuk membiayai operasional wisma, membayar makelar, preman, keamanan, dan berbagai pungutan lain.
Begitulah, dalam bisnis seks PSK adalah mesin industri yang menghidupkan hampir semua lini. Mereka dieksploitasi untuk mendulang uang yang dinikmati banyak kalangan. Jika sudah beranjak tua dan kehilangan pesona seksual, dengan sendirinya PSK itu bakal tersingkir.
Relokasi
Di luar hitung-hitungan bisnis tadi, sebagian masyarakat Surabaya menginginkan, Dolly-Jarak dipindah saja ke wilayah pinggiran kota. Alasannya, praktik pelacuran itu menyalahi aturan dan moral agama. Apalagi, kawasan tersebut berada di tengah kota yang padat pemukiman sehingga dikhawatirkan berdampak buruk bagi masyarakat.
Wacana relokasi Dolly-Jarak sudah muncul sejak tahun 1984, ketika Kota Surabaya dipimpin Wali Kota Muhaji Wijaya. Namun, sampai kini, wacana itu timbul-tenggelam tanpa kejelasan. Banyaknya kepentingan yang bermain dalam bisnis miliaran rupiah di situ akhirnya mengandaskan rencana relokasi.
Kepala Dinas Sosial Pemerintah Kota Surabaya Muhammad Munif menegaskan, pemerintah tidak pernah memberi izin pada lokalisasi di Dolly-Jarak yang tumbuh alami sejak tahun 1960-an. ”Secara hukum sudah jelas, prostitusi dilarang. Tapi, kami tidak bisa merelokasi begitu saja karena masalahnya kompleks,” katanya.
Meskipun demikian, menurut Camat Sawahan Dwi Purnomo, isu relokasi itu ”baru sebatas wacana di luaran”. Di kalangan masyarakat setempat di Dolly dan Jarak sendiri, menurut Dwi Purnomo, ”tidak ada gejolak”. Artinya, tak ada protes warga setempat terhadap kegiatan di Dolly. ”Saya sendiri belum dengar adanya rencana penggusuran. Kalau toh ada, tentunya saya orang pertama yang diberitahu. Itu baru sebatas wacana saja,” kata Dwi Purnomo.
Memang, wacana relokasi perlu disertai berbagai pertimbangan sosial-ekonomi yang matang. Salah satunya, jika Dolly-Jarak dipindah, bagaimana nasib ribuan orang yang telanjur menggantungkan hidupnya dari bisnis seks itu?
http://regional.kompas.com/read/2008/04/20/12364278/Bos..Mampir.Bos.
No comments:
Post a Comment