Wednesday, March 24, 2010

Perjalanan Hidup Jadi Mesin Uang di Dolly

Sebut saja namanya, Eiffel (19). Meski mengaku baru tiga minggu menjadi penghuni Dolly, perempuan berkulit kuning langsat dan semampai tubuh 162 cm ini menjadi salah satu primadona laris Wisma ”B”. Orang bilang, wajah cantik Eiffel mirip penyanyi Nafa Urbach…. ”Baru tiga bulan saya bercerai. Anak saya dua tahun, kini diasuh ibu,” ungkap Eiffel, yang lulusan SMA Negeri di sebuah kota di Jawa Tengah, ”Ayah saya pensiunan pegawai pemda,” katanya. Sang ibu, menurut Eiffel, hanya tahu kalau dirinya bekerja di pabrik di Surabaya.

Uang memang menjadi pangkal segala alasan, mengapa tiga minggu lalu ia merantau dengan bus ke Surabaya. Dan, jurus kepepet (terdesak), menjadi pemicu utamanya melakukan pekerjaan jadi pelacur. Namun, pekerjaan ini ia lakukan bukan semata-mata didorong karena kemiskinan atau trafficking—umumnya alasan yang membawa perempuan seperti Eiffel ini melakukan pekerjaan sebagai pemuas seks.

”Sejak kelas III SMA saya memakai sabu, ikut-ikutan pacar yang dulu memerawani saya. Lepas waktu saya jadi (perempuan) panggilan, untuk cari uang buat beli sabu,” ungkap Eiffel, yang mengaku kebiasaannya dulu adalah siang sekolah, sore nyabu, malam belajar dan terkadang ”menerima panggilan”.

”Anehnya, jika saya usai nyabu lalu belajar malam harinya, pelajaran seperti menempel di kepala saya. Maka, saya pun peringkatnya di kelas selalu urutan 1-3…,” ungkap perempuan yang tangkas dan selalu nyambung jika diajak bicara ini. Tetapi, gara-gara harus memenuhi kebutuhan sabu, Eiffel harus mengorbankan kemolekan tubuhnya untuk terkadang jadi panggilan. Maka, tubuh pun dipakai untuk menjadi pengayuh tiga tujuan: merengkuh pacar, meraup uang demi membeli kebutuhan sabu….

Namun, lantaran kebiasaan parasit sang pacar yang di kemudian hari jadi suami (tak mau kerja akan tetapi pengennya cuma ”numpang mulya” sama istri), Eiffel pun tiga bulan lalu bercerai. Demi menghidupi anak dan memenuhi kebutuhan dirinya, Eiffel pun kini mendamparkan dirinya ke Dolly. Ia bahkan mengaku, ingin meneruskan kuliah lagi suatu saat nanti.

Mesin uang

Apa pun alasan yang membawa Eiffel serta perempuan lain di Dolly dan Jarak—kompleks pelacuran yang lebih luas di sekitar Dolly—mereka mau tak mau harus menerima dalil ini: jadi mesin uang untuk diri sendiri dan orang sekitarnya jika jadi pekerja seks.

”Kerja dari pukul 16.00 sampai pukul 03.00, biasa melayani sekitar 10 tamu,” ungkap Ana (28), perempuan berambut lurus, berkulit putih asal Pekalongan, yang baru jadi penghuni Wisma ”T” di Dolly sejak sekitar bulan September 2007. Ana menjadi pelacur, setelah cerai dari suaminya, Usman (32), yang selingkuh dengan teman dekatnya.

Eiffel pun mengaku sekitar itu omzetnya per hari. Ia rata-rata menerima sembilan tamu dari pukul 18.30 sampai 03.00.

Omzet tinggi, tetapi jangan bayangkan penghasilannya berlimpah. Setiap tamu, membayar Ana Rp 72.000 untuk ”ngamar” per jam. Namun, dari jumlah uang itu, Ana hanya menerima Rp 31.000. Sisanya untuk germo pemilik wisma dan makelar yang menawarkan Ana pada tamu yang ngamar dengannya.

Eiffel pun kurang lebih demikian. Tarifnya memang Rp 130.000 per jam—termasuk tertinggi di kawasan Dolly—akan tetapi yang diterimanya hanya Rp 50.000 sekali ngamar. Yang Rp 50.000 lagi untuk sang germo, Rp 20.000 untuk sewa kamar dan Rp 10.000 untuk karyawan wisma yang menawarkan pada tamu.

”Premi dijanjikan dibayarkan setiap bulan. Dipotong untuk beli sabun, dan untuk merawat kecantikan,” tutur Eiffel. Di atas meja di kamarnya yang seluas 4 x 4 meter (pakai AC, kamar mandi di dalam), tergeletak tube-tube krim untuk scrub dan oil lightening merek Ponds dan Vaseline penghalus kulit seperti yang biasa dipakai orang-orang kota. Parfumnya pun Bvlgari, Aqva pour homme….

”Saya suka (parfum) yang untuk lelaki. Baunya lebih enak,” ungkap Eiffel. Semua itu, katanya, dibelinya melalui wisma. Tinggal potong premi bulanan. Harga produknya? Tentu saja tak sama dengan harga di luaran. Kan masih harus memberi ongkos jasa untuk yang membelikan?

Ambil contoh, bedak Pixi yang dipakai Ana. Jika di toko hanya Rp 14.000, di Wisma ”T” dijual Rp 25.000 untuknya. Kaus yang Rp 30.000 dibelinya seharga Rp 60.000. Celana panjang? Wah, tidak murah, Rp 150.000, bisa dicicil selama 15 hari, per harinya Rp 10.000. ”Kalau tidak nyicil, tidak terbeli,” gumam Ana.

Belum termasuk angsuran pinjaman Rp 10 juta dari sang germo, yang dicicilnya per bulan. Lumayan pinjaman itu dipakai Ana untuk mengangsur rumah sederhana 6 x 12 meter di Pekalongan seharga Rp 73 juta. Uang muka dibayarnya Rp 5 juta, angsuran Rp 700.000 per bulan.

Kebutuhan sehari-hari lainnya yang harus dibayar Ana adalah untuk jasa cuci dan layanan kesehatan Rp 110.000 per bulan. Belum termasuk kebutuhan beli sepatu dan pakaian dalam yang tentu saja tak sedikit biayanya.

Uang memang mengalir begitu cepatnya bagi pekerja seks di Dolly. Seperti kata iklan, wess, ewesss-ewesss, bablas anginĂ©. Cepat datang dan cepat pula perginya… http://regional.kompas.com/read/2008/04/20/12411038/Jadi.Mesin.Uang.di.Dolly

No comments:

Post a Comment