PEREMPUAN berbaju hijau dengan kerudung warna senada itu duduk termenung di kolong Jembatan Kandara, Jeddah, Arab Saudi. Udara di kolong jalan layang sepanjang 2.500 meter itu panas dan berdebu. Namun Arum, pe-rempuan itu, enggan beranjak.
Setiap pukul enam pagi, selama beberapa hari terakhir ini, Arum, 35 tahun, datang ke sana dan baru pergi selepas magrib. Ia kemudian mencari tumpang-an menginap di tempat orang-orang sekampungnya bekerja.
Ibu dua anak itu lari dari -majikan yang sering tak membayar gajinya. Akibatnya, ia tak punya dokumen ke-imigrasian untuk pulang ke Tanah Air. "Saya juga tidak punya uang buat ongkos pulang," katanya.
Sebelum lari, ia mendengar dari sesama pembantu rumah tangga, jika menggelandang di Kandara akan ada polisi yang datang menangkapi imigran tak berdokumen. Setelah ditangkap, nah: pemerintah Arab Saudi akan memulangkan mereka ke negara asal secara cuma-cuma. Artinya, Arum bisa pulang kampung tanpa perlu mengeluarkan uang sepeser pun.
Karena itulah, sudah berhari-hari Arum datang dan duduk menunggu razia polisi. Ketika Tempo menyambangi Kandara, ada sekitar seratus orang Indonesia terconggok di sana. Sebagian mereka TKI, sisanya orang-orang yang naik haji atawa umrah tapi tidak pulang ke Tanah Air dan mencari kerja serabutan di negeri petrodolar itu.
Pada musim haji seperti sekarang ini memang tak banyak orang kolong di Kandara, tapi selepas jemaah haji pulang, jumlah mereka membeludak. Jumlahnya bisa ratusan. Pasalnya, di sana juga ada warga negara Filipina, Sri Lanka, Bangladesh, dan India yang juga bertujuan sama.
Sebetulnya tak semua orang kolong itu tak berduit. Warjinah, sebut saja begitu, mengantongi sekitar Rp 15 juta hasil kerjanya selama dua tahun. Perempuan asal Jember, Jawa Timur, itu se-ngaja datang ke Kandara agar uangnya tak berkurang, karena harga tiket saja sudah sekitar Rp 4,3 juta.
Tiga tahun lalu ibu tiga anak ini pernah ditangkap dan dideportasi. Namun setahun kemudian ia kembali. Kini ia berharap bisa pulang gratis lagi. "Kalau bisa gratis, kenapa harus bayar?" katanya sembari memutar-mutar ponsel pintar Nokia E73 miliknya.
Karena semua ingin cepat pulang, tak mengherankan jika ada razia, orang kolong ini justru berebutan supaya ditangkap. Tak jarang pula terjadi perkelahian karena orang-orang yang tertinggal merasa kesal terhadap mereka yang ditangkap duluan.
Belakangan, pencidukan itu tak lagi acak. "Kalau mau cepat diciduk, bisa bayar ke juragan," kata Joko. Pria 32 tahun ini bercerita, para juragan ini memungut bayaran 150 riyal-sekitar Rp 380 ribu. Merekalah yang mengurus ke polisi agar pada saat razia para pemakai jasanyalah yang dicokok.
Juragan itu ternyata orang Indonesia juga. Salah satu juragan yang dikenal Joko adalah lelaki asal Madura, sebut saja Mawut. Joko tak berani menyebut nama aslinya. Tempo bolak-balik ke Kandara mencari Cak Mawut ini, tapi beliau tak kunjung muncul.
Pada musim haji, orang kolong ini lebih banyak bersembunyi dari incaran polisi. Kedatangan jemaah haji menjadi ladang usaha penjualan makanan dan mukena. Iim, misalnya, berjualan mukena seharga 25 riyal di sekitar pemondokan haji. "Keuntungannya bisa berlipat," kata Iim.
Selain Kandara, ada banyak tempat razia deportasi digelar, yakni di Mekah, Madinah, dan Riyadh. Namun Kandara memang favorit karena paling sering dirazia. Mungkin karena lokasinya paling dekat dengan Sijnu at-Tarhil, atau penjara pemulangan, tempat penampungan sementara imigran yang akan dideportasi. Biasanya mereka yang ditangkap paling lama seminggu di sana, sebelum diterbangkan ke negara asal.
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Jumhur Hidayat, mencatat setiap tahun sekitar 20 ribu tenaga kerja asal Indonesia yang dideportasi pemerintah Arab Saudi. Sebagian besar pulang memang dengan cara sengaja menjadi gelandangan di Kandara.
Setiap hari ada saja empat sampai sepuluh orang yang dideportasi. Menjelang Idul Fitri jumlahnya bertambah karena banyak yang ingin berlebaran di kampung halaman. "Akal-akalan mereka itu memang luar biasa," kata Jumhur sambil menggelengkan kepala.
Ia membenarkan, tak sedikit dari mereka yang jadi korban majikan nakal yang tak menggaji dengan benar. Ada juga yang jadi korban kekerasan. "Yang saya herankan, mengapa mereka tidak melapor ke agen atau ke kedutaan," katanya.
Setelah diusut, ternyata banyak orang kolong Kandara ini tenaga kerja ilegal. Mereka datang ilegal karena tak pulang selepas umrah, atau TKI resmi yang jadi ilegal karena lari dari majikan. "Larinya pun karena tergiur upah lebih besar."
Jumhur menceritakan, permintaan pembantu rumah tangga di Arab Saudi memang tinggi. Sejatinya, setiap calon majikan harus membayar uang rekrutmen sekitar Rp 25 juta, gaji bulanan 800 riyal (Rp 2 juta), dan meneken kontrak dengan klausul: jika terjadi pembatal-an kontrak, mereka mesti menanggung biaya pemulangan TKI ke Indonesia.
Namun banyak yang tak mau repot lalu mencari di bursa pekerja gelap, dan rela membayar gaji lebih tinggi, sekitar 1.300 riyal (Rp 3,3 juta). Gaji yang lebih besar itulah, menurut Jumhur, yang sering membuat TKI tergiur lalu lari dari majikan resminya.
Masalahnya, pada saat TKI itu lari, otomatis mereka menjadi pekerja ilegal karena dokumen resmi mereka tertinggal di majikan lama. Memang mereka bisa bekerja seperti biasa, bahkan ada yang sampai sepuluh tahun. "Namun, ketika ingin pulang, mereka tidak bisa membeli tiket karena tidak punya dokumen imigrasi," kata Jumhur.
Kasus ini juga terjadi pada peserta umrah yang kabur dari rombongan lalu bekerja secara tak resmi di Arab Saudi. "Biarpun nantinya punya uang banyak, tanpa surat-surat imigrasi tetap tidak bisa membeli tiket, dan akhirnya menggelandang supaya digaruk dan dipulangkan."
Menurut Jumhur, fenomena ini cuma terjadi di Arab Saudi, karena negara ini satu-satunya yang punya program pemulangan imigran bermasalah secara cuma-cuma. Tak pernah muncul masalah serupa di negara tempat tujuan TKI di kawasan Timur Tengah lainnya, seperti Kuwait, Yordania, Uni Emirat Arab, ataupun Oman.
Belakangan, pemerintah Saudi mulai gerah dengan akal-akalan para pendatang ini. Mereka menetapkan, orang yang pernah dideportasi tidak boleh kembali dalam jangka waktu lima tahun. Yang nekat melanggar dipastikan mesti mencari jalan pulang sendiri.
Ternyata kebijakan itu tetap tak berhasil menyurutkan semangat meng-akali program deportasi gratis. Pemerintah Saudi meradang, dan enam bulan lalu mereka mengeluhkan ulah pekerja Indonesia ini ke Kedutaan Besar Republik Indonesia. Menurut Jumhur, bisa jadi nantinya Indonesia diminta ikut menanggung biaya pemulangan. Jumhur juga sudah meneruskan pe-ringatan itu ke calon TKI. Cuma, di-akuinya, memang sulit mencegah arus orang ke Kandara. "Siapa, sih, yang -enggak ingin gratisan?" katanya.
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/11/23/NAS/mbm.20091123.NAS132038.id.html
No comments:
Post a Comment