- Sidney Jones
- Penasihat Senior untuk Program Asia, International Crisis Group
DITEMUKANNYA kamp pelatihan teroris di Aceh, dan munculnya Dulmatin di Pamulang, sangat mengejutkan saya dan banyak orang lain. Banyak pula pelajaran yang bisa kita petik.
1. Perubahan (mutasi) dalam jaringan ekstremis.
Kelompok di sekitar Dulmatin dan "Tanzim al Qaeda untuk Serambi Mekkah" bukanlah Jamaah Islamiyah, meskipun Dulmatin, seperti Noor Din Top, sudah dibaiat menjadi anggota JI. Ini tampak dalam rekaman video yang dibuat kelompok tersebut-yang muncul di YouTube, 8 Maret-yang mengajak umat di Indonesia bergabung melakukan jihad tapi dengan keras mengkritik JI sebagai organisasi yang mandul dan tidak melakukan apa pun.
Orang orang yang bergabung dalam kelompok Aceh adalah orang orang yang ditarik dari JI dan menginginkan aksi yang lebih besar. Kelompok ini tampaknya meliputi unsur unsur yang tidak setia dari sejumlah organisasi yang berbeda beda, termasuk JI, Jamaah Ansharut Tauhid, Mujahidin KOMPAK, Wahdah Islamiyah, dan sebagainya. Ini menggambarkan bahwa ketika banyak organisasi tersebut sudah meninggalkan kekerasan, muncul aliran yang lebih militan dalam gerakan ekstremis, yang sangat memihak Al Qaidah, dan berusaha membangun di atas nilai nilai yang ditinggalkan Noor Din Top.
2. Pertalian internasional yang lebih kuat.
Sebelum kembali ke Indonesia, Dulmatin dan Umar Pa-tek tinggal di Mindanao selama tujuh tahun, awalnya ber-sama MILF, kemudian dengan kelompok Abu Sayyaf. Fak-ta bahwa mereka pulang untuk bergabung dengan ke-lompok militan Indonesia menggambarkan bahwa komunikasi dan koordinasi antara Indonesia dan kelompok ekstremis di Mindanao lebih luas daripada perkiraan kita selama ini, dan bahwa Dulmatin dan rekan rekannya tampaknya menganggap diri mereka sendiri sebagai komponen Filipina, bagian dari Al Qaidah Asia Tenggara-nama yang diberikan Noor Din bagi jaringannya saat pengeboman Bali II.
Namun mata rantai ini jauh melampaui Filipina. Moh. Jibril, sekarang ditahan di Jakarta, menyampaikan kepada rekannya bahwa pada akhir 2007 ia mengunjungi Waziristan, basis Taliban Pakistan. Jibril, yang saat itu menjadi anggota "kelompok Al Ghuraba", bagian dari JI, dan sedang membantu Asia Tenggara, khususnya di Indonesia dan Malaysia, mendapat pelatihan di Afganistan antara 1999 dan 2003. Hubungan ini mestinya masih ada, dan konon-tidak ada kepastian berita ini-anggota anggota dari Indonesia kembali dari Afganistan awal tahun ini. Besar kemungkinan jaringan teroris Indonesia mempunyai komunikasi langsung dengan pemimpin senior kelompok teroris di Pakistan, dan mungkin juga di Timur Tengah dan Afrika Utara.
3. Mencari "qoidah aminah".
Para pemimpin kelompok gabungan ini dilaporkan memilih Aceh karena mereka mencari "qoidah aminah", atau basis yang aman. Selama konflik Poso, dan khususnya sesudah 2001, JI memandang Poso sebagai qoidah aminah, tempat yang memungkinkan untuk melakukan jihad, mengembangkan komunitas muslim yang ingin menerapkan hukum Islam secara penuh, dan bekerja untuk daulah Islamiyah, atau negara Islam. Tapi, setelah operasi kepolisian, Januari 2007, banyak anggota kelompok radikal ini yang ditahan, tertembak mati, atau terpaksa lari, dan tempat ini tidak lagi menjadi basis yang ideal. Ada kemungkinan Aceh menjadi menarik karena inilah satu satunya wilayah di Indonesia tempat hukum Islam bisa diterapkan secara penuh. Banyak pula kelompok radikal membangun usaha di Aceh sesudah tsunami, dan terdapat kontak jaringan yang sebelumnya tidak ada di sana. JI dan jaringan Darul Islam lama di Medan, Riau, dan Lampung ada kemungkinan turut membantu.
4. Tidak terjadi kekurangan pemimpin potensial.
Setelah tewasnya Noor Din, setiap orang berpikir bahwa masalah terorisme sudah berhasil diatasi. Ternyata tidak. Ada orang orang lain yang memiliki karisma dan pengalaman tempur di Mindanao, Poso, dan Ambon, yang mengambil alih pimpinan, dan generasi baru muncul di sekolah sekolah JI. Bukan hanya kebetulan kalau anak anak Dulmatin terdaftar di salah satu sekolah ini di Sukoharjo, atau bahwa teroris dan buron asal Singapura, Mas Selamat Kastari, mengirim putranya ke salah satu sekolah lainnya. Sebuah pesantren di Aceh, yang tidak terhubung ke JI, memiliki peran merekrut. Masalahnya bukan hanya di sekolah sekolah ini; seorang Aceh pengedar narkoba direkrut di penjara Medan, dan Syafiudin Zuhri merekrut pelaku peledakan bom bunuh diri Juli di lingkungan masjid di Bogor. Namun puluhan sekolah ini meninggalkan masalah serius, dan kita perlu menemukan cara kreatif untuk mencegah sekolah sekolah ini menghasilkan teroris pada 2020, tanpa menodai sistem pendidikan Islam pada umumnya.
5. Memahami dinamika lintas batas.
Ketika Dulmatin dan Umar Patek beroperasi di Jolo, Pasukan Khusus Amerika Serikat, yang diperlengkapi senjata mutakhir, sedang membantu Angkatan Bersenjata Filipina. Namun tidak ada yang tahu bahwa dua orang yang paling dicari di wilayah itu sudah meninggalkan Mindanao, tiba di Indonesia dan pergi ke Aceh. Amerika toh juga tidak menemukan Usamah bin Ladin, jadi aparat di Asia Tenggara mempunyai teman senasib, dan kemampuan mengelak dari pasukan keamanan ini menjadi tanda pemimpin teroris yang baik.
Tugas lintas batas menjadi sangat penting. Dalam dekade terakhir, sudah ada kemajuan pesat dalam berbagi informasi regional, tapi Kepolisian Indonesia tidak memiliki keahlian nyata dalam hal jaringan teror di Filipina, Kepolisian Filipina di kelompok Malaysia, atau siapa pun di Asia Tenggara di kelompok Asia Tenggara dan sebaliknya. Dengan demikian, sangat penting bagi semua yang terlibat dalam kegiatan kontraterorisme untuk memahami dinamika yang melampaui batas mereka sendiri agar bisa memahami bagaimana berbagai kelompok ini terhubung sekarang-atau mungkin di masa depan.
6. Pergeseran sasaran.
Kita melihat para ekstremis mengubah dan memperluas definisi mereka mengenai musuh di sepanjang waktu. Pada puncak konflik Ambon dan Poso, musuh yang dimaksud adalah penduduk Kristen setempat. Di Poso, ini ditambah dengan pelapor informasi dan pejabat pemerintah. Seperti, misalnya, dibunuhnya seorang jaksa di Palu, yang dipandang menentang jihad. Bom Bali 2002 merupakan indikasi pertama bahwa definisi dari Al Qaidah mengenai musuh-Amerika Serikat dan sekutunya dan semua warga negara yang membayar pajak untuk mendukung mesin perang di negara negara tersebut-sudah diadopsi. Fokusnya bisa saja ditujukan ke pejabat pemerintah Indonesia yang dianggap anti Islam, atau serupa dengan kafir karena aliansinya dengan Barat, menentang syariah, atau kebijakan umum yang dianggap tidak islami. Pada Juli, jaringan Noor Din merencanakan menyerang Presiden Yudhoyono; barangkali pejabat terkemuka sekarang menempati urutan atas daftar sasaran, setara dengan gedung bermerek internasional yang menjadi ikon.
Ini semua memperjelas fakta bahwa tidak benar berpuas diri setelah kematian Noor Din, dan tidak benar berpikir bahwa ancaman terorisme sudah berkurang dengan tewasnya Dulmatin. Ekstremis di Indonesia sudah menunjukkan kemampuan beradaptasi, membentuk kelompok baru, beregenerasi, dan melawan.
Indonesia perlu meningkatkan upaya kontraterorisme, dan kepolisian-yang mengetahui lebih banyak jaringan ini dibanding lainnya-harus memegang peran pimpinan. Harus ada brainstorming dengan orang orang dari negara lain yang mempunyai program canggih berbasis komunitas untuk memahami apa yang sudah berhasil, apa yang tidak berhasil dan apa sebabnya, serta apa yang bisa disesuaikan dengan lingkungan setempat di Indonesia.
Mencegah rekrutmen merupakan upaya yang lebih baik daripada menerbitkan buku buku yang mengandung interpretasi ganda tentang jihad, dan lebih baik dibanding menyelenggarakan dialog antaragama. Upaya pencegah-an ini termasuk meningkatkan kemampuan pemuda dan orang tuanya memahami tanda peringatan radikalisasi, dan mempunyai program yang dapat membantu memben-dung proses rekrutmen. Ini termasuk menawarkan pilihan hidup yang berbeda dan pilihan karier bagi siswa sekolah sekolah radikal. Terorisme tidak bisa diberantas dengan segera, tapi banyak upaya yang bisa dikerjakan pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta.
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/03/15/LU/mbm.20100315.LU133023.id.html
Monday, March 15, 2010
Terorisme: Pelajaran dari Aceh
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment