Pagi buta, ibu-ibu di Dusun Koro sudah berkumpul di halaman rumah mereka untuk bersama-sama berangkat ke hutan jati wilayah BKPH Montong, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Parengan, Kabupaten Tuban. Jika zaman dulu dilakoni dengan berjalan kaki, tidak bagi ibu-ibu sekarang. Mereka memilih urunan untuk menyewa mobil pick-up guna mengantarnya ke wilayah hutan yang dituju.
Tak lain, tujuan sejumlah wanita desa ini ke tengah hutan adalah untuk memetik daun jati dari pohonnya, kemudian dijual ke pasar. Dengan berbekal pisau, galah dan tali pengikat daun, wanita-wanita perkasa tersebut bisa mencukupi kebutuhan keluarga dari kegiatan yang dilakoninya saban hari itu.
Lastri, 34, salah satu pemetik daun jati asal Koro mengaku, sudah menjalani kesibukan itu bertahun-tahun, sehingga lupa kapan persisnya ia memulai kegiatan tersebut. “Sudah sejak dulu. Wong memang ini kesibukannya,” jawab ibu tiga anak ini di sela kesibukannya menata lembar-lembar daun jati yang berserakan di tanah, hasil kerja kerasnya sejak dinihari.
Sedikitnya 200 lembar daun jati sudah dikumpulkan. Tetapi, bagi Lastri, jumlah tersebut masih terlalu sedikit. Paling tidak ia harus berhasil mengumpulkan 1000-an lembar daun jati sehari jika ingin kerja kerasnya tidak sia-sia.
“Kalau hanya mendapat segini masih rugi. Belum cukup menggantikan biayanya,” kata Lastri. Setelah dipetik dari pohon, daun jati tersebut dikumpulkan dan diikat untuk selanjutnya dijual ke Pasar Baru Tuban dengan harga Rp 3.000 per ikat. Tiap ikat berisi 30-35 lembar daun jati. “Rata-rata setiap hari bisa menjual sekitar 50 ikat,” terangnya. “Jika dikalikan, berarti rata-rata dapat Rp 150.000 per hari,” tambahnya.
Dikurangi transportasi saat berangkat ke hutan dan berangkat ke Pasar Baru Tuban, Lastri masih bisa mengantongi Rp 70.000-80.000 per hari. Dan jika ditotal, setiap bulan bisa meraup penghasilan sekitar Rp Rp 2,4 juta. Atau hampir sama dengan gaji PNS golongan III D.
Namun, untuk bisa mengantongi uang sebanyak itu setiap bulan, Lastri atau para pencari daun jati lainnya harus rela jarang bertemu dengan keluarga. Saban hari, mereka rata-rata hanya punya waktu dua jam berada di rumah. Bagaimana tidak, selepas subuh ibu-ibu itu harus sudah berangkat ke hutan, dan kembali ke rumah tengah hari.
Setelah itu, sore hari sekitar pukul 15.00 mereka harus sudah berangkat ke Pasar Baru Tuban, dan baru kembali pulang setelah daun jatinya terjual habis. “Rata-rata pulangnya jam 04.00 WIB pagi. Setelah itu istirahat sebentar, memasak buat keluarga, kemudian berangkat lagi ke hutan untuk cari daun,” ungkap Siti, 37, pencari jati lainnya.
Untuk berangkat ke hutan, ibu-ibu itu harus menunggu rekan-rekannya yang lain. Kadang hingga menjelang siang baru berangkat karena mobil pick up yang membawanya ke hutan tidak mau berangkat jika tidak memuat minimal enam orang.
“Untuk kembali dari hutan, kami juga dijemput mobil lagi. Soalnya sudah langganan jadi pemilik mobil mau,” tambahnya.
Dengan aktivitasnya itu, Lastri, Siti, atau ibu-ibu pencari daun jati lainnya, istirahat penuh di rumah bila benar-benar lelah atau saat tanam jagung di ladang tiba. Selebihnya, waktu mereka habis di hutan dan Pasar Baru Tuban, mencari dan menjual daun-daun jati itu.
“Selama masyarakat masih menggunakan daun jati sebagai bungkus, kita masih bersyukur karena daun hasil kerja kita masih laku,” ujar Siti.
http://www.surya.co.id/2010/03/15/pencari-daun-jati-raup-rp-24-jutabulan.html
No comments:
Post a Comment