Kelompok ini juga tidak mengenal istilah “pelatih” atau instruktur khusus. “Pelatih mereka itu ya mereka beramai-ramai. Berdasarkan pengalaman saja,” beber Ito. Beberapa dari mereka yang belum tertangkap, menurut Ito, hingga kini masih terus diburu Densus 88 Antiteror Polri. Dia juga enggan mengungkap jika di antara yang diburu itu kini ada Mike alias Umar Patek dan Zulkarnaen.
Terkait banyaknya pihak yang menyayangkan penindakan yang dilakukan Densus kepada Dulmatin (dengan menembak mati), sebab dengan demikian Polri tidak dapat mengorek informasi lain yang lebih dalam terkait kegiatan terorisme itu, Ito mengatakan hal itu tak dapat dielakkan. “Lha kalau dia menembak, masa mesti ditangkap? Yang namanya tokoh-tokoh itu (teroris) dia maunya memang tidak ingin ditangkap hidup-hidup,” tukas Ito.
Seperti Mindanao
Sementara itu, pengamat terorisme asal Aceh, Al Chaidar menengarai Aceh akan dijadikan homebase baru bagi jaringan teroris yang masih tersisa. Apalagi, banyak kawasan hutan dan bukit di Aceh yang terlindung dari dunia luar. Itu membuat mereka leluasa membangun markas, seperti yang dilakukan Abu Sayyaf dan kelompok MILF (Moro Islamic Liberation Front) di Mindanao.
“Selain itu, daerah-daerah (basis kelompok teroris dan militan) di Jawa Tengah dan Jawa Barat sudah terlalu sering digerebek Densus 88. Mau tidak mau, mereka mencari daerah baru yang relatif lebih aman,” tutur Al Chaidar seperti dikutip JPNN. Ia menilai ada upaya sistemik menjadikan Aceh seperti Mindanao (wilayah Filipina Selatan yang menjadi basis aksi kelompok militan/pemberontak). Selain letaknya yang strategis, kata Al Chaidar, kultur Aceh yang kental dengan syariat Islam juga sangat mendukung gerakan kelompok radikal ini.
“Mereka punya target tertentu. Aceh bagi mereka sangat nyaman seperti Mindanao di Filipina,” kata Al Chaidar. Pria kelahiran Aceh Utara ini menambahkan, posisi Aceh dalam peta pelayaran dunia juga sangat strategis. Yakni, dekat Selat Malaka dan negeri jiran (Singapura, Malaysia, dan Thailand). “Kalau ada apa-apa, mereka bisa dengan mudah kabur ke negeri sebelah. Mereka juga bisa dengan gampang membajak kapal. Lalu lintas kapal di Selat Malaka sangat padat,” ujar Al Chaidar.
Dosen Antropologi pada Universitas Malikussaleh Lhokseumawe ini menyatakan, kondisi Aceh yang kental dengan kultur syariat Islam membuat kelompok teroris makin leluasa berlindung dan mencari pengikut. Apalagi, perkembangan Aceh akhir-akhir ini sedang tidak banyak dipantau oleh pemerintah pusat.
Di sisi lain, sebut Al Chaidar, pemerintah tetap waspada. Sebab, kendati jumlahnya tidak banyak, tapi beberapa warga Aceh kini terlibat terorisme. “Itu artinya mereka sudah bisa memenangkan heart and mind masyarakat Aceh,” katanya. Sumber lainnya menyebutkan, ada seorang pentolan teroris di Aceh yang sebelumnya ikut berjihad di Poso dan tahun 1998 masuk ke kamp Hudaibiyah di Mindanao, Filipina. Setelah sempat bergabung di Kamp Abubakar, Mindanao, dia membuat sebuah kamp baru di kawasan Liguasan Marsh, SK Pendaton, juga di wilayah Mindanao. Dia dilatih langsung oleh Mike alias Umar Patek dan Ikrima alias Ali Fauzi.
Sang pentolan dan kelompoknya memilih Aceh yang sudah aman sebagai homebase, karena sejumlah tempat yang biasanya dijadikan pusat latihan dan konsolidasi, seperti Sulawesi Utara, Poso, dan Jawa kini tak lagi aman bagi para militan. Tercatat 200-an aktivis militan kelas kakap di Jawa yang kini terus dipantau polisi, di antaranya jaringan Dulmatin dan Ali Ghufron.
http://www.surya.co.id/2010/03/13/teroris-filipina-bermain-di-aceh.html
No comments:
Post a Comment