Kontroversial semakin mencuat setelah para pelaku yang dicap gigolo dalam film itu memenuhi panggilan Direktorat Reskrim Polda Bali di Denpasar, Kamis (29/4). Mereka masing-masing Rosnan Efendik (Fendi) asal Lumajang, Sugiarto (Argo), dan Suwarno (Arnold) asal Banyuwangi, membantah keras disebut gigolo. Mereka mengaku tak sadar telah ditipu oleh sang sutradara asal Singapura, Amit Virmani.
“Ketiga aktor yang tampil dalam film, yang mengundang protes masyarakat Pulau Dewata, itu kami panggil untuk dimintai keterangan,” kata Kabid Humas Polda Bali Kombes Pol Gde Sugianyar di Denpasar.
Ia menyebutkan, ketiga aktor yang berperan sebagai gigolo pada film tersebut, diminta keterangan dalam kapasitas sebagai saksi. “Jadi kami panggil mereka hanya sebatas sebagai saksi sehubungan film yang dibintanginya cukup menghebohkan, serta ada dugaan telah terjadi pelanggaran,” kata Kombes Sugianyar.
Ketiga pemuda yang kesehariannya mengaku sebagai instruktur surfing di Pantai Kuta itu, tiba di kantor polisi langsung digiring ke ruangan Satuan Tindak Pidana Tertentu (Sattipiter) Ditreskrim Polda Bali, guna menjalani pemeriksaan.
Menurut Sugianyar, selain dimintai keterangan, ketiganya juga berencana melaporkan sutradara film tersebut, yang dianggap telah mencemarkan nama baik mereka.
Ketika aktor tersebut mengaku telah ditipu sutradara yang disebut bernama Amit Virmani, pria berdarah India yang kini menetap di Singapura. Para aktor mengaku tidak tahu bahwa hasil pengambilan gambar atas diri mereka di Pantai Kuta pada 2007, dilakukan untuk kepentingan produksi sebuah film dokumenter.
“Kami betul-betul tidak tahu kalau itu untuk film dokumenter, terlebih dengan tema kehidupan para gigolo di Kuta,” kata Arnold, sebelum menjalani pemeriksaan.
Ketiga orang yang masing-masing berumur 29 tahun itu sebelumnya juga mengakui, sejak 2007 sudah saling kenal dengan sang sutradara Amit Virmani, sehubungan dia sering nongkrong di Pantai Kuta.
“Menurut keterangan mereka, mulanya sutradara itu datang dengan membawa kamera besar dan merekam aksi mereka ketika surfing. Mereka senang saja diambil gambarnya, dan mulai saat itulah mereka akrab,” ujar Sugianyar.
Hubungan antarmereka menjadi bertambah akrab setelah Arnold berhasil mempersunting istri yang seorang warga negara asing. Sementara rekannya Argo dan Fendik, selama ini mengaku banyak bergaul dengan komunitas bule di Kuta, sehingga pertemuannya dengan Amit merupakan sesuatu yang mereka anggap lumrah dan biasa.
“Kami sudah biasa dengan bule, ya ketika diambil gambar dengan kamera, ya biasa-biasa saja, tidak ada curiga apa-apa,” kata Argo yang tampak dalam film tersebut tengah dipijat oleh seorang perempuan bule.
Ketiga pemain film kontroversial itu, ketika diwawancarai senada, mengatakan tidak terima bila nanti dijadikan tersangka dalam kasus ini. “Justru kami yang akan melapor karena nama baik kami sudah dicemarkan,” kata Argo.
Akibat munculnya cuplikan film tersebut di internet, dirinya kerap dipandang negatif oleh keluarga dan teman-temnnya. “Orangtua saya marah setelah melihat itu. Dia bilang, kayak apa kamu di sini, pulang aja,” katanya.
Dampak lain, kehidupan beach boy atau anak pantai menjadi terganggu. Menurut Arnold, masyarakat menjadi risih menggunakan jasa mereka sebagai pelatih selancar. Dalam film tersebut, Arnold tampak pada bagian pembukaan dan mengucapkan, “I think I know you”.
Sementara sesuai instruksi Kapolda Bali Irjen Pol Sutisna, saat ini Ditreskrim telah membentuk tim khusus untuk menangani kasus itu dengan melibatkan tim cyber crime.
“Dilibatkannya tim cyber crime adalah untuk menelusuri bukti-bukti pendukung. Mengingat tayangan ini beredar luas di internet melalui situs youtube,” ujar Sugianyar.
Selain tiga nama pemeran dalam film yang saat ini telah diperiksa, polisi juga berencana melakukan pemanggilan saksi lain untuk dimintai keterangan.
“Kemungkinan lebih dari lima saksi akan kami panggil untuk dimintai keterangan untuk dapat mengungkap adanya kasus pelanggaran dalam produksi film tersebut,” katanya.
Menyebar Luas
Film Cowboys in Paradise, garapan sutradara berdarah India, yang kini menetap di Singapura, itu merupakan film dokumenter yang mengisahkan sepak terjang para gigolo alias pria penjaja seks di Pantai Kuta, hingga menjadikan Bali sebagai tujuan wisata yang menarik bagi para turis asing perempuan. Film itu beredar luas di internet dan menjadi perbincangan heboh setelah di-upload melalui youtube.
Masyarakat, terutama di Bali, protes lantaran pengambilan gambar film dilakukan di Pantai Kuta. Hal tersebut dinilai telah merusak citra pariwisata Pulau Dewata yang lebih mengedepankan seni dan budaya. Apalagi film itu ramai dibicarakan setelah Bali dihebohkan pemberitaan kasus fedofilia, dan terakhir kasus pemerkosaan sejumlah siswa SD.
Reaksi pun bermunculan. Gubernur Bali I Made Pastika langsung memerintahkan satgas Pantai Kuta melakukan razia, mendata, dan memeriksa para beach boy yang biasa berkeliaran di Pantai Kuta. Pastika berjanji, akan mengusut tuntas beredarnya film yang dianggap telah mencemarkan nama Bali itu. Reaksi juga datang dari kalangan tokoh adat Bali, yang meski tak menampik kenyataan adanya gigolo, tapi buat mereka, para penjaja seks tersebut telah mencemarkan daerah dan tradisi mereka.
Merespons perintah gubernur, Satgas Pengamanan Pantai Kuta, Bali, Senin (26/4), menggelar razia gigolo di Pantai Kuta. Razia yang digelar menjelang sore ini menyisir tempat-tempat yang diduga sebagai lokasi mangkalnya para gigolo. Anggota satgas memeriksa kartu tanda pengenal terhadap pemuda yang dicurigai sebagai gigolo. Bagi yang tidak memiliki KTP langsung digelandang ke kantor satgas.
Hasilnya, puluhan pemuda tanpa KTP diperiksa lebih detail, apakah mereka benar-benar berprofesi sebagai gigolo. Mereka rata-rata berkulit hitam akibat kerap berjemur matahari dengan dandanan santai rambut dicat dan berkaca mata pantai.
Sutradara film Cowboys in Paradise, Amit Virmani, mengaku, film pendek dokumenter dibuat untuk memotret sisi lain dari pariwisata Bali. Menurutnya, cowboy yang berbeda tipis dengan gigolo sudah ada sejak dulu di Bali, sehingga lahirlah gagasan untuk membuat film pendek dokumenter tentang mereka.
“Saya selalu menyukai film, dan ketika saya meneliti cowboys, tiba-tiba saya mendapat ide untuk membuat film dokumenter, dengan gagasan yang bisa merebut perhatian Anda,” kata Virmani dikutip dari twitschfilm.net, Rabu (28/4).
Pria berdarah India itu mengaku sudah lama mengetahui ada cowboy di Bali. “Sebenarnya, saya telah mengetahui tentang cowboys dan fenomena yang mirip di tempat lain,” terang Virmani. Ia melanjutkan, turis perempuan yang mencari teman untuk menikmati Bali, termasuk untuk mendapat pemenuhan kebutuhan seks, dan para pemuda di Bali yang demi uang memberi pelayanan, tidak terkecuali seks, merupakan masalah besar. “Tetapi, mereka adalah kenyataan,” katanya.
Keinginan Virmani untuk membuat film dokumenter tentang cowboy bertambah kuat ketika beberapa tahun lalu ia bertemu dengan seorang anak di Bali yang membuatnya begitu terkejut. “Seorang anak berusia kira-kira 12 tahun di Bali itu berhasrat, kalau besar nanti ia akan menjadi penjaja seks untuk perempuan-perempuan Jepang,” cerita Virmani. Virmani mengakui cowboy dan gigolo tulen mempunyai sedikit perbedaan karena cowboy tidak sekadar memberikan pelayanan seks. Mereka juga berfungsi sebagai teman alias pemandu wisata tidak resmi.
Polda Bali menegaskan, film dokumenter Cowboys in Paradise ilegal. Sebab, film tersebut tidak memiliki izin syuting.
http://www.surya.co.id/2010/04/30/semua-pemain-gigolo-bali-dari-jatim.html
No comments:
Post a Comment