Julia Perez (Jupe) nyalon bupati. Artis penyanyi yang suka tampil sensual dengan desahan erotis itu celakanya didukung delapan partai politik. Pro-kontra pun membuncah. Benarkah ini gaya 'ludrukan' para wakil rakyat? Atau sang wakil memang sudah 'keblinger massal', mengusung calon pemimpin hanya berdasar popularitas tanpa perduli dengan kualitas dan sakralitas jabatan pemimpin?
Jupe dikenal sebagai penyanyi. Genre 'Sang Perez' musik pop dangdut. Dengan berbagai racikan dan variannya, album Jupe cukup laris. Itu karena selain suaranya 'merdu merayu' bak bulu perindu, Jupe juga suka pamer paha dan payudara. Termasuk rajut-merajut 'cinta terlarang' dengan pemain bola.
Segala lakon yang dimainkan Jupe itu memang tidak salah. Sebagai seorang penampil memang selayaknya seperti itu. Malah pakem ideal dalam seratan Jawa menyebutkan syarat-syarat yang kini dikategorikan sebagai pornografi. Bawaan suara bagus sebagai modal dasar. Mengasah dan mencari maesenas penting untuk mempercepat pelejitan. Dan untuk itu, maka perlu fase krusial yang disebut gumuk manukan.
Gumuk itu bukit. Simbol kemaluan perempuan. Dan manukan itu manuk atau burung, sebagai gambaran dari laki-laki. Gumuk manukan tengara kemaluan perempuan dimencloki burung. Manuk bertengger di gumuk. Denotatifnya menyerahkan kehormatan demi lancar dan bancarnya karier bersangkutan.
Ini jenjang menuju kematangan seorang penampil. Matang karier dan matang sebagai primadona di panggung. Sebab ketika seorang penampil telah lahir, maka dia bukan lagi miliknya. Dia menjadi milik publik. Suaranya menghipnotis jiwa. Wajahnya melayang menginspirasi tiap kepala. Dan tidak terhindari, tubuhnya pun implisit 'setan' penggoda iman.
Istilah ini memang terkesan kasar. Tapi itu yang diamanatkan pakem penghibur, dan sadar atau tidak, tetap diaplikasikan siapa saja yang menerjuni dunia hiburan. Teks profesionalitas mengenal istilah 'show must go on'. Penghibur harus tetap menghibur. Kedirian luruh. Dalam kondisi apapun seorang penampil terjaga penampilannya. Dia tersenyum dan mengajak tertawa kendati hati sedang terluka.
Itu pula yang menjadi pasal, kenapa soal selingkuhan, perceraian, dan segala yang menyangkut sejuta kisah rumah tangga ganti berganti menyemaikan perjalanan karier seorang artis. Dia memang dilahirkan di ranah itu. Dia telah hadir sebagai 'bunga' pengharum hidup. Dia hidup dalam garis pengharuman itu. Dengan konsekuensi dicap tidak bermoral, jorok, perusak rumah tangga, penggaet suami orang, atau pagar makan tanaman.
Nah profesionalitas Jupe itu menjadi masalah besar, ketika dia keluar dari 'garisnya'. Dia berhasrat masuk wilayah ambtenar. Sebuah area yang bertolak belakang dari jalur yang selama ini diarungi. Di kawasan ini, disiplin yang sudah mentradisi menyebutkan, pemimpin itu harus mempunyai sikap guru, digugu dan ditiru. Dipercaya omongannya, dan dijadikan tauladan tindakannya.
Pemimpin itu juga berwatak ksatria. Tegas keras. Sabdo pandito ratu. Ide geni. Yang jika dijabarkan, bicaranya tidak boleh mencla-mencle, yang terucap harus ditindakkan. Memberi hukuman bagi yang salah. Memberi penghargaan yang berjasa. Dan ucapan adalah sabda, karena hakekatnya dialah 'wakil Tuhan' di muka bumi.
Maka ketika Jupe memasuki demarkasi ini, setumpuk masa lalunya terbentang di banyak jidat, terutama dalam benak 'calon rakyatnya', warga Pacitan. Dari hari ke hari yang terbayang adalah desah suara Jupe yang 'penuh nafsu', busana Jupe yang menstimulasi orang untuk berasosiasi yang tidak-tidak, dan tindak dia yang terbalut petualangan cinta.
Memang tidak tertutup kemungkinan Jupe akan baik dan mampu 'memperbaiki' keadaan Pacitan yang selama ini tergolong minus. Namun adakah itu mampu menstimulasi rakyat setempat agar berpikir begitu, di saat polusi akut mendegradasi kemuliaan para pemimpin dengan korupsi, demoralisasi, serta eksploitasi rakyat akibat politik transaksional?
Bobot, bibit, bebet memang belum menjamin hadirnya pemimpin yang baik. Tapi setidaknya, jika itu dipakai sebagai ukuran menjaring calon pemimpin, maka kita telah melangkah menuju kebaikan. Niat untuk berbuat baik dan ikhtiar agar baik.
Saya berdoa semoga Jupe gagal memimpin Pacitan !
Djoko Suud Sukahar - detikNews
sumber: http://www.detiknews.com/read/2010/04/08/112502/1334481/103/jupe-bupati-gumuk-manukan , gambar ditambahkan...
Jupe dikenal sebagai penyanyi. Genre 'Sang Perez' musik pop dangdut. Dengan berbagai racikan dan variannya, album Jupe cukup laris. Itu karena selain suaranya 'merdu merayu' bak bulu perindu, Jupe juga suka pamer paha dan payudara. Termasuk rajut-merajut 'cinta terlarang' dengan pemain bola.
Segala lakon yang dimainkan Jupe itu memang tidak salah. Sebagai seorang penampil memang selayaknya seperti itu. Malah pakem ideal dalam seratan Jawa menyebutkan syarat-syarat yang kini dikategorikan sebagai pornografi. Bawaan suara bagus sebagai modal dasar. Mengasah dan mencari maesenas penting untuk mempercepat pelejitan. Dan untuk itu, maka perlu fase krusial yang disebut gumuk manukan.
Gumuk itu bukit. Simbol kemaluan perempuan. Dan manukan itu manuk atau burung, sebagai gambaran dari laki-laki. Gumuk manukan tengara kemaluan perempuan dimencloki burung. Manuk bertengger di gumuk. Denotatifnya menyerahkan kehormatan demi lancar dan bancarnya karier bersangkutan.
Ini jenjang menuju kematangan seorang penampil. Matang karier dan matang sebagai primadona di panggung. Sebab ketika seorang penampil telah lahir, maka dia bukan lagi miliknya. Dia menjadi milik publik. Suaranya menghipnotis jiwa. Wajahnya melayang menginspirasi tiap kepala. Dan tidak terhindari, tubuhnya pun implisit 'setan' penggoda iman.
Istilah ini memang terkesan kasar. Tapi itu yang diamanatkan pakem penghibur, dan sadar atau tidak, tetap diaplikasikan siapa saja yang menerjuni dunia hiburan. Teks profesionalitas mengenal istilah 'show must go on'. Penghibur harus tetap menghibur. Kedirian luruh. Dalam kondisi apapun seorang penampil terjaga penampilannya. Dia tersenyum dan mengajak tertawa kendati hati sedang terluka.
Itu pula yang menjadi pasal, kenapa soal selingkuhan, perceraian, dan segala yang menyangkut sejuta kisah rumah tangga ganti berganti menyemaikan perjalanan karier seorang artis. Dia memang dilahirkan di ranah itu. Dia telah hadir sebagai 'bunga' pengharum hidup. Dia hidup dalam garis pengharuman itu. Dengan konsekuensi dicap tidak bermoral, jorok, perusak rumah tangga, penggaet suami orang, atau pagar makan tanaman.
Nah profesionalitas Jupe itu menjadi masalah besar, ketika dia keluar dari 'garisnya'. Dia berhasrat masuk wilayah ambtenar. Sebuah area yang bertolak belakang dari jalur yang selama ini diarungi. Di kawasan ini, disiplin yang sudah mentradisi menyebutkan, pemimpin itu harus mempunyai sikap guru, digugu dan ditiru. Dipercaya omongannya, dan dijadikan tauladan tindakannya.
Pemimpin itu juga berwatak ksatria. Tegas keras. Sabdo pandito ratu. Ide geni. Yang jika dijabarkan, bicaranya tidak boleh mencla-mencle, yang terucap harus ditindakkan. Memberi hukuman bagi yang salah. Memberi penghargaan yang berjasa. Dan ucapan adalah sabda, karena hakekatnya dialah 'wakil Tuhan' di muka bumi.
Maka ketika Jupe memasuki demarkasi ini, setumpuk masa lalunya terbentang di banyak jidat, terutama dalam benak 'calon rakyatnya', warga Pacitan. Dari hari ke hari yang terbayang adalah desah suara Jupe yang 'penuh nafsu', busana Jupe yang menstimulasi orang untuk berasosiasi yang tidak-tidak, dan tindak dia yang terbalut petualangan cinta.
Memang tidak tertutup kemungkinan Jupe akan baik dan mampu 'memperbaiki' keadaan Pacitan yang selama ini tergolong minus. Namun adakah itu mampu menstimulasi rakyat setempat agar berpikir begitu, di saat polusi akut mendegradasi kemuliaan para pemimpin dengan korupsi, demoralisasi, serta eksploitasi rakyat akibat politik transaksional?
Bobot, bibit, bebet memang belum menjamin hadirnya pemimpin yang baik. Tapi setidaknya, jika itu dipakai sebagai ukuran menjaring calon pemimpin, maka kita telah melangkah menuju kebaikan. Niat untuk berbuat baik dan ikhtiar agar baik.
Saya berdoa semoga Jupe gagal memimpin Pacitan !
Djoko Suud Sukahar - detikNews
No comments:
Post a Comment