Monday, March 15, 2010

Haram, Bantuan Pabrik Rokok

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah telah mengeluarkan fatwa merokok itu haram. fatwa itu akan berpengaruh terhadap operasional perusahaan. Tidak hanya menyangkut eksistensi perusahaan, melainkan juga nasib ribuan pekerja di dalamnya.

Tidak hanya itu. Majelis Tarjih menegaskan, fatwa haram tersebut juga berlaku bagi seluruh aktivitas sosial industri rokok, seperti memberikan bantuan dana sosial untuk masyarakat, termasuk bantuan bagi yayasan sosial. “Dana itu haram karena diambil dari barang haram, yaitu rokok. Ibaratnya kalau makan dari barang haram, darah yang mengalir di tubuh kita juga haram,” kata Sudibyo Markus, Ketua PP Muhammadiyah bidang Majelis Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat (MKKM).

Ketika dihubungi Surya, Minggu (14/3) malam, Sudibyo mengatakan, keuntungan yang didapat perusahaan rokok selama ini adalah dari penderitaan masyarakat. Anak-anak menjadi pecandu, masyarakat miskin rela mengeluarkan uang untuk membeli rokok. Karena itu, menerima bantuan dari mereka (perusahaan rokok) sama artinya menerima bantuan dari orang sengsara. “Ini memang konsekuensi yang harus kami terima. Meski pada Muktamar Muhammadiyyah tahun 2005 lalu, di Malang, banyak spanduk dari perusahaan rokok berkibar, sekarang kami tidak memperbolehkan,” tegas Sudibyo.

Ketika disinggung tentang kemungkinan adanya sponsor perusahaan rokok untuk menutup anggaran Muktamar Muhammadiyah pada 3-8 Juli 2010 di Jogjakarta mendatang, Sudbyo menegaskan, tidak sepeser pun uang yang didapat berasal dari sumbangan perusahaan rokok. “Kami dapat dari patungan seluruh Rumah Sakit Muhammadiyah, dan kami tidak menerima sponsor rokok karena berbahaya, dan itu berat,” tegasnya.

Bagaimana dengan donasi perusahaan rokok selama ini yang juga menyisihkan dananya untuk kepentingan umum seperti pendidikan, olahraga, maupun upaya membantu usaha kecil seperti bantuan modal? Menurut Sudibyo, memang donasi itu memberi manfaat kepada sebagian orang, tapi kemudlaratan (kerugian) bagi masyarakat jauh lebih besar.

Di mata Muhammadiyyah, tegas Sudibyo, perusahaan rokok mendapatkan untung besar, tapi banyak masyarakat sakit karena rokok. Keuntungan besar perusahaan itu pun tidak sepadan dengan pendapatan petani tembakau yang rendah serta dampak kerusakan lingkungan.

Sudibyo juga menegaskan tidak ada hubungan antara fatwa haram merokok ini dengan berbagai kerjasama luar negeri yang dilakukan Majelis Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat (MKKM). “Untuk Muhammadiyah sampai pada fatwa haram ini prosesnya sudah lama, sudah lebih 15 tahun lalu, bukan semata-mata karena kerja sama luar negeri (bantuan The Union),” katanya.

Ia menjelaskan bahwa fatwa haram itu dikeluarkan dalam rangka merevisi fatwa Majelis Tarjih tahun 2005 yang menyatakan bahwa merokok hukumnya mubah, boleh dikerjakan tapi ditinggalkan lebih baik.

Namun, lanjut dia, dengan semakin terbukanya informasi mengenai dampak buruk merokok di bidang kesehatan, sosial dan ekonomi, terlebih bagi keluarga miskin, serta memerhatikan beberapa ketentuan hukum positif tentang diperlukannya lingkungan dan perilaku hidup sehat bagi masyarakat serta UU No.39 Tahun 2009 pasal 113 yang menyatakan tembakau mengandung zat adiktif, maka Majelis Tarjih merasa perlu merevisi ketentuan lama itu.

Maka Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah mengeluarkan fatwa merokok haram melalui surat Nomor 6/SM/MTT/III/2010 tanggal 8 Maret 2010.

“Tidak ada yang diuntungkan, hanya perusahaannya,” kata Yunahar Ilyas, salah satu Ketua PP Muhammadiyah, dalam jumpa pers di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (9/3) lalu.

Sementara sebagian besar petani tembakau, kata Yunahar, miskin. Karena itu, Muhammadiyah menyatakan akan menyiapkan membimbing petani tembakau beralih ke komoditas lain. “Tapi tentu pemerintah harus terlibat,” ujarnya.

Sebagai tahap awal, Muhammadiyah akan melakukan sosialisasi ke dalam dulu. Kemudian dilanjutkan ke rumah sakit dan kampus. “Sudah ada tim Muhammadiyah Tobacco Center. Sementara di pusat saja, tapi nanti kami instruksikan ke wilayah,” ujar Yunahar.

Kerja Sama Internasional

Terkait dengan kerjasama internasional, lebih lanjut Sudibyo Markus menjelaskan bahwa dalam kehidupan era globalisasi seperti sekarang kerjasama internasional tidak terhindarkan.

Dijelaskan, kerjasama antara MKKM PP Muhammadiyah dengan The Union (Paris) dalam pengendalian dampak tembakau saling mendukung dengan kerjasama MKKM dengan The Global Fund dalam penanggulangan penyakit tuberkulosa dan berbagai penyakit paru, karena tanpa lingkungan hidup sehat mustahil penyakit paru dikendalikan.

Menurut dia, dana yang diperoleh dari The Union akan digunakan dalam pengembangan komitmen oleh seluruh jaringan lembaga kesehatan Muhammadiyah dalam pengembangan perilaku dan lingkungan hidup sehat, pengembangan kerjasama pengendalian tembakau serta advokasi bagi pengendalian dampak tembakau di hilir. “Muhammadiyah fokus pada sisi hilir atau sisi permintaan yaitu mengurangi dampak paparan asap rokok terhadap warga non perokok, serta melindungi generasi muda dari kampanye industri rokok,” katanya.

Saat ditanya mengenai komentar salah satu tokoh Muhammadiyah (Amien Rais) yang menyebutkan bahwa belum ada satu negara pun yang memberlakukan fatwa haram rokok, Sudibyo mengatakan bahwa Mesir telah mengharamkan rokok pada 1999, sedangkan Brunei Darussalam pada Oktober 2006.

Terbitnya fatwa tersebut disesalkan manajemen PT Gudang Garam Tbk (GGRM), salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia . Menurut Kepala Bagian Humas GGRM, Yuli Rosiadi, secara tak langsung, fatwa itu akan berpengaruh terhadap operasional perusahaannya. Tidak hanya menyangkut eksistensi perusahaan, melainkan juga nasib ribuan pekerja di dalamnya. “Dalam jangka panjang fatwa itu mungkin akan berpengaruh terhadap perusahaan kami. Ini yang harus kami pikirkan. Bagaimana nasib ribuan karyawan yang kami pekerjakan saat ini,” kata Yuli.

Yuli meminta pemerintah pusat dapat mengambil tindakan mengenai polemik fatwa rokok haram. Sementara itu, 17 perusahaan rokok di Jombang terancam bangkrut. Selain karena fatwa haram rokok yang dikeluarkan PP Muhammadiyah, kondisi itu dipicu naiknya pajak cukai.

Ketua ASPRRI (Asosiasi Perusahaan Rokok Republik Indonesia) Jombang, Abdurrahman, mengatakan, seluruh perusahaan rokok di Jombang setidaknya dalam 1,5 bulan terakhir ini dalam kondisi kolaps.

Hal itu disebabkan beberapa hal. Di antaranya fatwa haram rokok, kenaikan pajak cukai, serta terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 200 tentang luas area untuk industri rokok.

Praktis, omzet perusahaan rokok di kota santri ini turun 15 hingga 20 persen. “Sebelumnya perusahaan rokok sudah lesu. Yakni dengan adanya kenaikan harga cukai. Hal itu diperparah dengan adanya fatwa haram rokok serta PMK Nomor 200,” jelas Abdurrahman, Minggu (14/3).

Abdurrahman mencontohkan, sebelum ada kenaikan cukai, dalam satu bulan ia mampu menjual 80 bal atau sekitar 16.000 pak rokok. Namun, setelah kebijakan tersebut ia hanya mampu menjual 50 bal per bulan. Maklum, cukai rokok yang sebelumnya Rp 35/batang, kini menjadi Rp 65/batang. Padahal harga jual rokok tersebut rata-rata tetap Rp 2.000/bungkus.

Untuk menyiasatinya, Abdurrahman harus mengurangi jumlah pekerja. Yakni, dari 30 pekerja menjadi 8 orang. Parahnya, imbuh dia, dari delapan orang itu sistem kerjanya menunggu pesanan. “Artinya, jika ada pesanan rokok dalam jumlah banyak, baru bekerja. Apabila tidak ada order, mereka harus menganggur,” katanya.
http://www.surya.co.id/2010/03/15/haram-bantuan-pabrik-rokok.html

No comments:

Post a Comment