Wednesday, March 10, 2010

Budaya "Upeti" di Kepolisian Suburkan Penjebakan

Budaya setoran yang masih terpelihara di tubuh kepolisian menjadi salah satu penyebab krusial maraknya praktik penjebakan perkara pidana oleh oknum polisi. Sistem kontrol internal ataupun eksternal dinilai masih belum maksimal mengatasi budaya tersebut.

Hal itu disampaikan Adnan Pandu Praja, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Senin (8/3/2010). Secara terpisah, Inspektur Pengawasan Umum Komisaris Jenderal Nanan Soekarna juga membenarkan, salah satu akar masalah dari fenomena praktik penjebakan adalah budaya setoran yang belum benar-benar pupus.

”Memang itu kami sadari, selama para atasannya masih ingin ’dilayani’, maka bawahan jadi terbebani. Dampaknya ke masyarakat. Oknum jadi cari-cari perkara. Kami masih terus berusaha sebisa mungkin memangkas praktik seperti itu (setoran),” tutur Nanan.

Budaya setoran yang dimaksud adalah pemberian ”upeti” rutin dari bawahan kepada atasan. Upeti diperoleh dengan cara-cara yang tidak patut, seperti memeras orang-orang yang bermasalah hukum sampai merekayasa perkara pidana terhadap orang yang justru tak bersalah.

Sudah menjadi pengetahuan umum sejak lama, misalnya, polisi lalu lintas memperoleh modal upeti dengan ”memangsa” pengendara di jalanan, lalu berdamai dengan sejumlah uang. Namun, menurut Nanan, saat ini praktik buruk polantas sudah lebih berkurang karena terus-menerus disorot. Sementara di reserse, problem itu belum sepenuhnya teratasi. ”Kini perubahan di reserse yang harus dipercepat. Karena itu, Kapolri juga sudah menegaskan untuk kita sama-sama ’mengeroyok’ reserse,” ujar Nanan.

Seperti disebutkan Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri, sebanyak 5.531 polisi yang memimpin unit reserse sejak di tingkat polsek, polres, hingga polda, dalam waktu dekat akan dikumpulkan untuk pembenahan. Kapolri berharap warga tak perlu ragu melapor jika dikerjai oknum polisi.

Adnan mengatakan, fenomena rekayasa perkara merupakan problem di satuan reserse yang paling mendesak untuk dibenahi. Dari pengaduan atau keluhan yang masuk ke Kompolnas pada 2009, sebagian besar (1.386 aduan) mengadukan soal perilaku reserse di lapangan. Jumlah total aduan masyarakat ke Kompolnas juga mengalami lompatan cukup tinggi, yakni dari 344 aduan pada 2008 menjadi 1.466 aduan pada 2009.

Menurut Adnan, pimpinan kepolisian dalam berbagai kesempatan selalu menyampaikan komitmennya akan menindak tegas oknum aparat yang menyeleweng. Namun, pada kenyataannya di lapangan, implementasinya kerap kali tidak seindah retorika. ”Kalau kita mau menguji akuntabilitas pimpinan, yaitu pada saat ketika pelanggaran terjadi, apakah pelanggaran itu diberi ganjaran hukuman atau tidak,” kata Adnan.

Senada dengan Adnan, Nanan juga mengatakan, bad cop (polisi nakal) sampai kapan pun boleh jadi akan selalu ada. ”Namun, yang terpenting adalah bagaimana setiap bad cop, di level apa pun, secara konsisten selalu dihukum. Dengan begitu, Polri baru bisa disebut akuntabel,” kata Nanan

http://nasional.kompas.com/read/2010/03/09/08065572/Budaya..quot.Upeti.quot..di.Kepolisian.Suburkan.Penjebakan.

No comments:

Post a Comment