Tuesday, April 20, 2010

"Gayus" Surabaya Cokot Atasan

Kasus penggelapan pajak Rp 350 miliar yang dibongkar Satpidum Reskrim Polwiltabes Surabaya, Minggu (18/4) siang, menyeret lagi oknum-oknum pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Setelah Hertanto, 33, kemarin tiga nama PNS di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Rungkut, Surabaya, juga dinyatakan sebagai tersangka. Ketiganya `dicokot` oleh Hertanto alias Tanto –yang juga bekerja di KPP Pratama Rungkut. Ketiga PNS yang dinyatakan sebagai tersangka baru atas `cokotan` Hertanto itu adalah atasan Hertanto sendiri, kemudian seorang pegawai juru sita serta seorang ahli di bagian teknologi informasi (TI).

Informasi yang diperoleh Surya, atasan Hertanto menduduki posisi Kepala Seksi (Kasi) Penagihan, berinisial E. Pejabat E yang kini tak diketahui keberadaannya itu sering menyuruh tersangka Hertanto (warga Bratang Gede IE, Surabaya) mendatangi D, ahli TI di lingkungan KPP Pratama Rungkut. Sedangkan tersangka pegawai juru sita berinisial I, yang tak lain adalah teman Hertanto sendiri.

“Mereka kami tangkap, Minggu (18/4) malam, berdasarkan pengembangan atas kasus penggelapan pajak di PT Putra Mapan,” kata Kapolwiltabes Surabaya, Kombes Pol. Ike Edwin, saat ditemui di Kanwil DJP Jatim I di Jalan Jagir Wonokromo, Surabaya, Senin (19/4).

Menurut sumber di kepolisian kepada Surya kemarin, peran D adalah mengganti nama penanggung pajak yang namanya muncul dalam situs internet DJP. Nama penanggung pajak itu bisa diganti siapa saja oleh D. Misalnya, nama A diganti B.

D juga bisa berperan menulis di Modul Penerimaan Negara (MPN) dan menghapus tagihan yang tertera secara online.

“Yang bisa melakukan itu (mengganti, menulis, dan menghapus) hanya D. Pegawai lainnya tidak bisa. Memang D ahli di bidang teknologi informasi,” tutur sumber di kepolisian, Senin (19/4).

Menurut sumber tersebut, kepada setiap perusahaan yang belum membayar pajak, E menyuruh Hertanto mendatanginya. Lantas perusahaan itu menghadap E untuk negosiasi.

Misalnya, wajib pajak yang seharusnya membayar Rp 800 juta jika menghadap E, dia bisa nego dan akhirnya bisa cuma membayar Rp 300 juta. Uang itu kemudian dibagi oleh E bersama Hertanto dan D. Tersangka Hertanto mendapat bagian Rp 50 juta dan D mendapat Rp 30 juta.

“Itu kasus penggelapan pajak dari satu perusahaan saja. Padahal, yang terdeteksi selama ini sudah mencapai 351 kasus. Kalau sehari ada empat atau lima perusahaan, sudah berapa nilainya,” kata sumber tersebut.

Untuk menyiasati itu semua, E juga menyuruh Hertanto untuk menghilangkan tagihan pajak perusahaan yang ada di kantornya. Beruntung, ada beberapa berkas tagihan perusahaan yang masih berhasil ditemukan polisi. “Pokoknya berkas yang dicuri itu ada yang disita. Tinggal menunjukkan barang buktinya saja pada Hertanto,” ungkapnya.

Di mana keberadaan E, D, dan I?

Polisi hingga kini masih mengalami kesulitan untuk menangkap mereka karena di kantornya tidak ada. Begitu pula di rumahnya. Diperkirakan, mereka lebih dulu sembunyi setelah tahu Hertanto ditangkap aparat Polwiltabes. Penangkapan Hertanto terjadi setelah penyidik menangkap Enang Yahyo Untoro, 38, asal Simo Gunung IV, Surabaya, yang pernah menjadi petugas kebersihan atau cleaning service di KPP Rungkut.

Untuk diketahui, pada Minggu (19/4) siang, Polwiltabes memaparkan pengungkapan kasus penggelapan pajak di Surabaya dengan nilai ratusan miliar Polisi telah menahan 10 orang pelaku pemalsuan surat setoran pajak (SSP). Tujuh dari 10 orang tersebut merupakan staf kantor konsultan pajak Agustri Junaidi, yakni Fat, IR, MM, Gat, Her, TS, dan MS.

Tiga orang lainnya, yakni Hertanto serta Enang Yahyo Untoro dan Siswanto. Sebagaimana Enang, Siswanto juga bekas petugas cleaning service di Kanwil DJP Jatim I.

Untuk mengungkap siapa saja yang terlibat dalam penggelapan pajak, keterbukaan pimpinan KPP Pratama Rungkut sangat diharapkan. Pasalnya, penyidik ingin membuka file perusahaan mana saja yang dipalsu oleh sindikat itu.

“Polisi masih terbentur dengan UU yang ada. Sebab, untuk memeriksa dan membuka file perusahaan-perusahaan wajib pajak harus seizin Menteri Keuangan,” paparnya.

Kapolwiltabes Surabaya Kombes Pol Drs Ike Edwin, menjelaskan, dalam satu KPP saja ada 351 wajib pajak yang digelapkan oleh sindikat itu. Padahal, di Surabaya ada beberapa KPP. Sekarang penyidik tengah mengumpulkan bahan dan keterangan (pulbaket) di KPP lain.

“Apakah cuma satu KPP saja yang melakukan praktik penggelapan itu, dan yang lainnya bersih, itu yang terus kami selidiki,” tuturnya.

Mantan Kasat Reskrim Polwiltabes ini juga menginstruksikan jika ada pejabat pajak lain yang terlibat, mereka harus diperiksa. Pasalnya, uang yang seharusnya masuk ke negera justru masuk kantong pribadi. “Mata rantainya terus ditelusuri,” jelasnya.

Sementara itu, Kepala Kanwil DJP Jatim I, Ken Dwi Jugiastiadi, terkesan “cuci tangan” dalam kasus penggelapan pajak yang merugikan keuangan negara itu.

“Itu bukan merupakan tindak kejahatan perpajakan, melainkan kasus penipuan dan penggelapan biasa,” katanya berdalih di kantor Kanwil DJP Jatim I, Senin (19/4). Pernyataan itu disampaikan kepada pers untuk menanggapi perkara pemalsuan SSP yang sedang disidik Polwiltabes Surabaya.

Ia juga menolak anggapan perkara tersebut telah mengakibatkan kerugian keuangan negara. “Siapa yang dirugikan? Kami masih belum memastikan adanya kerugian,” ucapnya.

Ken menyatakan, kasus itu murni tindak pidana umum yang kewenangan penyidikannya ada pada penyidik kepolisian atau kejaksaan sebagaimana diatur dalam KUHAP.

“Berbeda dengan tindak kejahatan perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 38, 39, 40, dan 44 UU KUP (Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan), kami yang menanganinya,” katanya
http://www.surya.co.id/2010/04/20/tersangka-cokot-atasan.html

No comments:

Post a Comment