Friday, April 16, 2010

Pasar Rakyat Gulung Tikar: Omzet Pasar Turun 8 Persen, Plaza Naik 31 Persen

Entah sampai berapa lama lagi pasar tradisional bisa bertahan. Pamor pasar rakyat itu benar-benar akan hilang jika melihat hasil penelitian nasib pasar tradisional. Peneliti Komnas HAM Pihri Burhaerah saat berada di Hotel Santika Surabaya, Kamis (15/4), mengatakan, kehadiran plasa berdampak negatif terhadap eksistensi pasar tradisional. Hasil penelitian lembaga riset AC Neilsen, katanya, menyebutkan bahwa kehadiran pasar modern mempengaruhi pertumbuhan pasar tradisional secara negatif sebesar delapan persen.

Penurunan pertumbuhan pasar tradisional terutama pada omzet penjualan. Bahkan, ada yang omzet penjualannya menurun hingga 75 persen. “Jika terus-menerus seperti ini, lima atau sepuluh tahun lagi, banyak pasar yang tutup,” katanya.

Kemana larinya omzet itu? Ternyata, ke pasar modern alias plasa. Sebab, dalam penelitian yang sama mengalami peningkatan pertumbuhan positif bahkan hingga 31,4 persen. Plasa tidak hanya menyedot pengunjung pasar, melainkan juga menarik minat orang yang jarang ke pasar.

Namun, bagi Pihri, menyusutnya pamor pasar tradisional tidak hanya karena plasa. Ini juga akibat gaya pasar tradisional yang lekat dengan kekumuhan sehingga tidak nyaman. Terbatasnya akses permodalan juga menjadi masalah.

Negara, kata Pihrih, harus turun tangan. Pasar tradisional harus segera dilindungi, karena terkait dengan hak-hak atas pekerja pedagang. Pasar tradisional terkait dengan ancaman pengangguran yang tinggi.

Berharap pertumbuhan sektor formal untuk lapangan kerja tidak akan bisa, karena pertumbuhannya hanya satu persen per tahun. Sedangkan pertumbuhan sektor informal seperti perdagangan pasar tradisional sampai di atas tujuh persen dari tahun ke tahun

Soal tampilan pasar yang kumuh, sebenarnya PD Pasar Surya sudah mengeluarkan jurus menghadang serbuan mal dan supermarket sejak satu dekade terakhir. Pasar-pasar kumuh disulap mirip mal, investor properti digandeng. Bagaimana hasilnya?

Lihatlah Pasar Ampel. Pasar di Jalan Nyampulungan itu sepuluh tahun lalu masih ada aktivitas jual beli. Konstruksinya kayu yang unik dengan atap genting pelana mirip pendopo. Pasar itu kemudian dirobohkan dan di atasnya dibangun gedung tiga lantai. Pasar Ampel model baru akhirnya rampung dengan bangunan lebih wah. Namun, ternyata pasar itu tutup akibat tidak ada pedagang.

Lihatlah Pasar Wonokromo yang legendaris itu. Sebelum dibangun, pasar itu menjadi pasar teramai di Surabaya setelah Pasar Turi. Pedagangnya bahkan sampai meluber. Paskakebakaran, Pasar Wonokromo dibangun. menggabungkan mal dan plasa dalam satu gedung.

Sekarang , mampirlah ke Pasar Wonokromo, hanya bagian depan dan tengah yang penuh. Kios-kios di bagian dalam malah tutup. Kebanyakan disegel gara-gara menunggak angsuran. Nasib serupa juga menimpa pedagang Pasar Tambahrejo setelah dibangun.

Ada apa sebenarnya? “Cirinya pedagang rakyat ini adalah kekurangan modal dan lemahnya manajemen keuangan,” kata H Zaenal, pedagang pasar. Selain itu, ribuan pedagang pasar juga tidak kompak, sehingga persaingan dengan mal tidak pernah siap diterima. Kuncarsono Prasetyo

http://www.surya.co.id/2010/04/16/omzet-pasar-turun-8-persen-plaza-naik-31-persen.html

salah satu sebab menurunnya omset pedagang tradisional, adalah ketidak tegasan sikap pemerintah dalam menegakkan aturan yang ada, misalnya soal pembatasan jam buka pasar modern. banyak pasar modern yg jelas jelas melanggar aturan jam operasional, namun tidak pernah ada kepedulian apalagi tindakan dari pemerintah untuk menegakkan aturan yg ada...

artikel terkait:

No comments:

Post a Comment