Monday, April 26, 2010

Pengadilan ''Idola'' Koruptor

LEMBAGA peradilan tak berhenti dari sorotan. Keadilan bagi semua pihak seperti masih jauh panggang dari api. Rakyat kecil yang mencuri tiga biji kakao untuk bisa memenuhi kebutuhan makan sehari itu, harus menjalani vonis. Sementara kita dipertontonkan hukuman bebas dari pengadilan terhadap Gayus Tambunan, pegawai pajak golongan IIIA dalam kasus penggelapan pajak puluhan miliar rupiah.

Seorang pejabat di kejaksaan pun mengeluh soal putusan hakim.
’’Sekarang ini banyak putusan hakim yang aneh-aneh. Kami telah menahan tersangka korupsi, begitu dilimpahkan ke pengadilan tahu-tahu ada putusan hakim yang mengeluarkan terdakwa dari rumah tahanan jadi tahanan kota.

Kami telah menuntut kasus-kasus pidana umum dengan tuntutan cukup tinggi, tahu-tahu bebas. Putusan-putusan hakim sekarang ini memang kadang aneh-aneh,’’ keluh Kepala Kejaksaan Negeri Semarang Djoko Indro Pramono beberapa waktu lalu kepada Suara Merdeka.
Keluhan semacam itu bukan hanya dirasakan seorang penegak hukum seperti Djoko Indro Pramono.

Sekarang publik ditontoni putusan aneh Gayus Tambuhan dan putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jaksel terhadap kasus Bibit-Chandra. Terbukti, ada yang janggal dalam putusan kasus pajaknya Gayus yang hanya dijerat kasus penggelapan, padahal mestinya dijerat pula dengan kasus korupsi dan pencucian uang. Polisi, jaksa, dan hakim diduga terlibat.

Menjadi sulit memercayai keseriusan dan komitmen institusi penegak hukum dalam memberantas korupsi di negeri ini, tak terkecuali terhadap para hakim. Paparan ini khusus mengupas masalah putusan pengadilan.
Kasus Gayus hanyalah salah satu, sebelumnya sebenarnya banyak putusan yang dirasa aneh, bahkan terhadap kasus korupsi yang menjadi perhatian publik.

Sebelum kasus putusan Gayus mencuat, tahun-tahun sebelumnya, institusi pengadilan dalam hal ini pengadilan umum selama 2009 secara keseluruhan ternyata memberikan kontribusi besar terhadap makin melemahnya upaya pemberantasan korupsi yang saat ini didorong oleh pemerintah.

Kegagalan MA

Meskipun Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin A Tumpa pernah mengatakan (15 Januari 2010) komitmennya dalam pemberantasan korupsi, faktanya pengadilan umum selama setahun di bawah kepemimpinannya gagal memberikan perubahan signifikan terhadap agenda pemberantasan korupsi.

Dalam penanganan perkara korupsi di pengadilan umum, selama 2009 masih mengecewakan. Baik MA maupun pengadilan umum di bawahnya—pengadilan tinggi dan pengadilan negeri—kenyataaanya masih menjadi ”idola” koruptor.

Hal ini bisa dilihat dari perkara korupsi yang diperiksa dan diputus pengadilan umum sepanjang tahun 2009.
Hasil pantuan Indonesian Corruption Watch (ICW) dan mitra kerjanya di daerah, selama 2009 terdapat 199 perkara korupsi dengan 378 orang terdakwa yang diperiksa dan diputus atau divonis oleh pengadilan di seluruh Indonesia mulai dari tingkat pengadilan negeri sebanyak 160 perkara, lalu banding (pengadilan tinggi) 18 perkara, dan kasasi/peninjauan kembali (MA)21 perkara.

Sedangkan kerugian dan potensi kerugian keuangan negara dari perkara yang diperiksa dan diputus pengadilan diperkirakan mencapai Rp 1,772 triliun. Disebut potensi karena sebelum berkekuatan hukum tetap, uang sitaan belum dapat dieksekusi untuk dikembalikan ke negara.

Data ICW menyebut, dari 378 terdakwa korupsi yang telah diperiksa dan diputus, sebanyak 224 terdakwa (59,26 %) divonis bebas/lepas oleh pengadilan. Hanya 154 terdakwa (40,74 %) yang akhirnya divonis bersalah.

Namun dari yang akhirnya diputuskan bersalah tersebut, dapat dikatakan belum memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi. Terdakwa yang divonis di bawah 1 tahun penjara sebanyak 82 terdakwa (21,69 %).
Dalam hal vonis bersalah, yang paling ringan adalah tiga bulan penjara yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Bengkulu terhadap Suprayitno, direktur CV Bhakti Nusa yang diduga melakukan korupsi dana pengadaan laptop.

Tren Putusan

Menurut Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho, terdapat beberapa hal yang perlu dicermati dari sejumlah perkara korupsi yang diadili oleh pengadilan umum selama 2009. Pertama, jumlah vonis bebas/lepas bagi terdakwa masih dominan dan mengalami kenaikan dari tahun-tahun sebelumnya.

Dari semua pengadilan, Pengadilan Negeri Makassar yang saat ini paling banyak membebaskan terdakwa korupsi (38 terdakwa).
Kedua, terjadi tren terdakwa yang divonis ringan sesuai batas minimal penjatuhan pidana yang ditentukan oleh Undang-Undang Pemberantasan Korupsi bahkan di bawah 1 tahun penjara.

Berdasarkan Pasal 3 dalam UU 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001 disebutkan bagi pelaku korupsi yang terbukti bersalah maka dijatuhi pidana penjara paling sedikit 1 tahun penjara dan paling banyak 20 tahun penjara.

Sepanjang 2009, tercatat dari 154 terdakwa yang divonis bersalah, paling dominan—sebanyak 81 terdakwa atau lebih separuhnya—divonis hanya 1 tahun penjara bahkan kurang dari setahun.

Ketiga, fenomena hukuman percobaan dalam perkara korupsi makin marak. Hingga akhir 2009 ditemukan adanya 16 koruptor yang divonis dengan hukuman percobaan. Umumnya mereka dijatuhi vonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun.

Jumlah ini lebih banyak dari 2008 yang hanya berjumlah 10 koruptor. Dengan kondisi ini, dapat dipastikan terdakwa tidak perlu menjalani hukuman meskipun dinyatakan bersalah.

Emerson Yuntho menyatakan, terkesan ada upaya ”penyiasatan” hukum yang dilakukan oleh hakim pengadilan dalam penjatuhan vonis. UU Tipikor hanya mengatur mengenai batas minimum hukuman yaitu 1 tahun penjara, namun tidak mengatur apakah seseorang koruptor dapat dihukum dengan hukuman percobaan.

Meskipun dinilai kontroversial, faktanya MA saat ini bahkan tengah mempertimbangkan pemberian vonis hukuman percobaan untuk perkara tindak pidana korupsi. Pertimbangannya, menurut Wakil Ketua MA Abdul Kadir Mappong (24 Mei 2009), dalam memutuskan hukuman percobaan terhadap terdakwa perkara korupsi, hakim lebih memperhatikan asas keadilan hukum.

Jalan di Tempat

Berhasil tidaknya upaya pemberantasan korupsi di Indonesia pada akhirnya juga ditentukan oleh ada tidaknya dukungan institusi pengadilan khususnya Mahkamah Agung.

Tidak berlebihan jika mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrrahman Ruki pernah mengatakan keberhasilan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sangat tergantung pada komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang didukung pengadilan.

Artinya, jika upaya pemberantasan korupsi tidak mendapatkan dukungan dari hakim-hakim pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan hakim agung di MA, sampai kapan pun usaha pemberantasan korupsi akan berjalan di tempat bahkan bukan mustahil mundur.

Sayangnya, menurut Emerson Yuntho, pada 2008, MA menempatkan diri sebagai institusi yang tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi. Hasil penelitiannya menyebutkan, dari 277 terdakwa yang divonis bebas pada tahun itu, MA paling banyak membebaskan terdakwa korupsi yaitu 121 terdakwa. Wow!

Di seluruh Indonesia, sebentar lagi tidak akan menerapkan penyidangan perkara korupsi pada pengadilan umum, melainkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Namun hakim tipikor yang direkrut mayoritas merupakan hakim-hakim pengadilan umum, dan kebanyakan tercatat berpengalaman membebaskan terdakwa korupsi.

Sistemnya baru, tapi jiwa hakimnya masih lama. Lantas akankah Pengadilan Tipikor bisa jadi harapan? Sejarah yang nanti akan membuktikan.

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/04/26/107134/Pengadilan-Idola-Koruptor

No comments:

Post a Comment