Monday, April 26, 2010

Kisah Keluarga dengan 21 Anak, Kini Menunggu Kelahiran Anak Ke-22

Sebuah keluarga di Kota Pekalongan cukup fantastis sebagai keluarga besar. Pasangan suami-istri itu memiliki 21 anak. Bukannya ikut program KB, saat ini si ibu justru kembali hamil anak ke-22. Betapa repotnya?

HALIMAH (46) menjumput potongan karet yang tercecer di lantai, lalu mengikatkannya pada bagian tengah kain berwarna putih. Tak jauh darinya, anak ke-12-nya, Romlah (14) juga melakukan hal serupa.
Aktivitas menjadi buruh kain itulah yang dilakukan Halimah di ruang tengah rumahnya RT 05 RW 02 Kelurahan Jenggot, Kecamatan Pekalongan Selatan, Kota Pekalongan, Sabtu (24/4).

Sementara di kamar depan, tampak Nur Mustajabatun (21), anak ketujuh, dan Nurfadhilah (18), anak kesembilan. Keduanya juga mengikat kain berwarna putih, tetapi ukurannya lebih lebar.

Sehari-hari, Halimah dan anak-anaknya menjadi buruh pengikat kain, bahan baku untuk industri batik. Upah mengikat kain itulah yang menjadi penopang periuk kehidupan keluarga pasangan Halimah dan Mas’ud (56) yang dikaruniai 21 anak itu.

Tiga dari 21 anak pasangan itu meninggal dunia. Dua anaknya tinggal terpisah, di Bali dan Purworejo. Di rumah sederhana itu, ada 16 orang anak. Kini, pasangan tersebut tengah menanti kelahiran anak ke-22. Halimah tengah mengandung empat bulan. Sementara, suaminya tidak bekerja.

Satu kodi kain kecil, mereka mendapat upah Rp 3.000, sedangkan untuk satu kodi kain besar dibayar Rp 5.000. Halimah menuturkan, mereka bisa menghasilkan 40 kodi kain ikat selama dua hari. ”Seminggu biasanya dapat Rp 100.000. Hasilnya dibagi-bagi, Rp 60.000 untuk anak-anak, saya dikasih Rp 40.000,” tuturnya.

Dengan Rp 40.000 seminggu, tentu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga besar itu. Untuk makan saja, satu hari keluarga itu membutuhkan 5 kilogram beras. Seperti halnya siang itu. Di tengah kesibukannya mengikat kain, anak ke-19 pasangan ini, Sabrina (6) merengek minta makan. Namun, nasi yang dimasak pada subuh hari itu telah habis.

Halimah lalu membuka tas plastik warna hitam berisi beras untuk masyarakat miskin (raskin) yang baru ditebusnya di kantor Kelurahan Jenggot. ”Sehari, saya memasak nasi dua kali. Setelah subuh untuk sarapan dan makan siang. Lalu, setelah dhuhur memasak lagi untuk makan malam,” katanya.

Uang dari buruh mengikat kain itu, sebenarnya bukan satu-satunya sumber utama ekonomi keluarga. Muhammad Ihwan, anak keenam yang bekerja di Bali, turut menyangga ekonomi keluarga.
Dari hasil usaha batik yang dirintis Mas’ud, Ihwan sebulan sekali mengirimkan uang Rp 500.000 kepada sang ibu. Uang kiriman dan hasil mengikat kain itulah yang menggerakkan roda perekonomian di keluarga tersebut.

Untuk membeli kebutuhan pokok, termasuk uang saku anak-anak yang masih sekolah. Sepuluh dari 18 anak masih sekolah.
Sabrina (6) misalnya, duduk di bangku TK, sehari mendapat jatah uang saku Rp 1.500. Juga untuk membeli susu bagi Mudrikatul Minah (4) dan Agung Siti Maemunah (2), anak ke-21.

Prioritas

Di Kelurahan Jenggot, keluarga Mas’ud mendapat perhatian khusus dari pemerintahan setempat. Lurah Jenggot Taibin menuturkan, anak-anak pasangan Halimah dan Mas’ud, sejak taman kanak-kanak (TK), madrasah ibtidayah (MI), hingga madrasah tsanawiyah (MTs) tidak dipungut biaya.

Anak kesepuluh pasangan ini, Muhammad Thohir, yang lulus tahun ini, juga diikutkan dalam program kelurahan vokasi. ”Karena kemampuan keluarga kurang, sementara anak-anak harus sekolah, dari TK sampai MTs gratis semua,” terang Taibin. Hampir semua anak Halimah-Mas’ud hanya menyelesaikan jenjang studi sampai MTs.

Tidak hanya itu, untuk raskin pun, keluarga ini mendapat porsi lebih dari kelurahan. Jika warga umumnya hanya mendapat jatah raskin satu paket (sekitar 3,75 kilogram) untuk satu kupon, keluarga ini mendapat tujuh paket raskin untuk satu kupon.
Menurut Halimah, tidak hanya mendapat jatah tujuh paket raskin dari kelurahan, tak jarang ia mengganti jatah raskin milik tetangganya yang tidak diambil. ”Ada yang nggak mau ambil, jatahnya diberikan saya,” tuturnya.


Takut KB

Dalam hal KB pun, keluarga ini mendapat perhatian khusus. Taibin menuturkan, petugas lapangan Keluarga Berencana (PLKB) tak henti-hentinya memotivasi Halimah untuk ikut program KB. Namun Halimah belum bersedia ikut KB. ”Setiap kali melahirkan, petugas KB selalu menjenguk Bu Halimah, sekaligus memotivasinya agar ikut KB. Tapi Bu Halimah belum bersedia,” terangnya.
Halimah mengaku takut untuk ber-KB. Ia menceritakan, saat periksa di rumah sakit, ia sempat melihat pasien KB mengalami pendarahan. Sejak melihat itu, ia mengurungkan niatnya.

Halimah menikah dengan Mas’ud pada September 1979. Saat itu, ia baru berusia 15 tahun. Setahun setelah melahirkan anak pertamanya, Muhammad Yusron (yang kini berusia 30), selang 1,5 tahun ia hamil anak kedua.

Hal itu berlangsung hingga anak ke-22. ”Saat bayi berumur lima atau enam bulan, istri pasti hamil,” terang Mas’ud.
Sementara itu, Mas’ud juga tidak bersedia ikut program KB. ”Saya kurang setuju dengan program KB,” katanya. Terkait hal ini, Kepala Dinas Kesehatan Kota Pekalongan Dwi Heri Wibawa mengimbau agar pasangan ini mengikuti program KB. Menurutnya, ibu yang terlalu sering melahirkan termasuk dalam kategori risiko tinggi melahirkan.
”Meskipun demikian, kami tidak bisa memaksa,” katanya sembari menambahkan pihaknya siap memberikan pelayanan antarjemput jika Halimah menyatakan siap ikut program KB

HIDUP dengan banyak anak, tidak menjadi beban bagi pasangan Halimah (46) dan Mas’ud (56). Sebaliknya, pasangan ini justru semakin bahagia menyambut kehadiran anak ke-22 mereka.

Tengok saja aktivitas keluarga itu kemarin. Sekitar pukul 13.00, Halimah pulang dari masjid usai menunaikan sholat dhuhur. Langkahnya baru sampai ruang depan. Sajadah di tangan kirinya juga belum sempat ia letakkan.
Namun dari ruang tengah menghambur si bungsu, Agung Siti Maemunah (2). Ia menangis, mengharapkan sepotong es lilin yang dipegang kakaknya.

Belum reda tangis si bungsu, Sabrina (6) merengek minta dibuatkan susu. Botol susu yang diulurkan padanya, terpaksa hanya digenggamnya. Karena ia sibuk menenangkan si bungsu.

Akhirnya, ia meminta kepada anaknya yang ke-14, Muhammad Adib (10), untuk membuatkan susu untuk Sabrina.
”Ya begini ini kalau punya anak banyak. Tapi karena niatnya ibadah, ya lillahi ta’ala,” tuturnya.

Sebagai ibu yang setiap hari mengurus dan mempersiapkan segala keperluan untuk anak-anaknya, ia mengaku sering keliru.
Anak yang sudah dimandikan, kadang-kadang dimandikan lagi. ”Sudah saya mandikan, eh saya mandikan lagi,” katanya.

Tidak hanya masalah mandi yang sering lupa, dia juga mengaku sering salah memberi uang saku kepada anak-anaknya.
Kehidupan keluarga itu memang tak lepas dari bayang-bayang hidup serba kekurangan.

Meskipun begitu, mereka tidak pernah mengeluh. Mereka meyakini, Tuhan tidak pernah jauh dari keluarga itu.
Sembari menerawang, dia mengenang, ”Pernah, baru saja saya melahirkan di rumah sakit, tapi nggak bisa keluar karena belum melunasi biaya administrasi. Eh, kok ya ada seseorang yang menawarkan bantuan untuk melunasi biaya administrasi.”
”Karena itu, saya merasa Tuhan dekat dengan kami. Karena setiap kami mengalami kesulitan, kami pasti diberikan jalan. Rezeki selalu datang tak disangka-sangka,” sambungnya.

Adopsi

Bagi pasangan tersebut, anak adalah anugerah. Berapa pun anak yang dititipkan kepada mereka, pasangan ini akan menyambutnya dengan bahagia. ”Justru yang paling membahagiakan bagi saya, saat anak-anak rebutan makan. Lalu mereka berangkat sekolah, salaman satu per satu,” kata Mas’ud.

Itulah arti kebahagiaan bagi keluarga ini. Karena itu, ia tidak rela jika anaknya dirawat orang lain. Mas’ud menuturkan, ada dua keluarga yang pernah menyatakan niatnya untuk mengadopsi anak mereka.
Anaknya yang ke-15, Abdul Madjid (10), akan diadopsi dokter yang membantu persalinannya di Bali. Dengan tawaran menggiurkan, namun pasangan ini tidak bersedia menyerahkan.

Sementara, anak yang ke-21, Agung Siti Maemunah (2) juga akan diminta oleh pasangan yang sudah menikah selama sepuluh tahun, tetapi belum dikaruniai anak.

Pasangan ini pun menolaknya. Tapi, mereka memberikan kehormatan kepada pasangan yang hendak mengadopsi anak ke-21 itu dengan memberikan nama depan berupa ”Agung” di depan nama Siti Maemunah. Anak itu lahir di Bali pada 1998.
”Cobaan duniawi selalu datang pada kami. Sedih, kalau anak sakit nggak punya duit. Akhirnya harus tutup lubang gali lubang.

Tapi, anak adalah anugerah bagi kami. Berapa lama sih kita hidup di dunia ini. Anak-anaklah sumber kebahagiaan bagi kami,” kata Mas’ud.
Semua anaknya terlahir normal. Tiga di antaranya meninggal karena keguguran, lalu sakit panas, dan gagal ginjal. Dari 18 anak itu, 9 laki-laki dan 9 perempuan.

Sederhana

Keluarga besar itu tinggal di rumah yang sangat sederhana, di RT 05 RW 02 Kelurahan Jenggot, Kecamatan Pekalongan Selatan, Kota Pekalongan. Sebagian dinding rumah itu terbuat dari anyaman bambu. Lantainya, sebagian belum dikeramik. Hanya ruang tengah saja yang terlihat berkeramik.
Tak banyak perabotan rumah tangga yang bisa dijumpai di rumah itu. Di ruang tamu, hanya terdapat satu set kursi warna biru yang sudah mulai rusak.

Sementara di ruang tengah, hanya ada satu televisi. Di depan televisi itu, terhampar satu tikar yang tidak terlalu lebar. Di atas tikar itulah, sebagian anak-anak Halimah dan Mas’ud tidur setiap malam.
Sementara itu, tetangga keluarga itu menilai Halimah sebagai sosok yang berjiwa sosial tinggi. Dia suka menolong tetangga yang kesusahan. ”Meskipun repot mengurus anak, ia tetap mau direpoti.

Kalau ada tetangga yang sakit, kadang-kadang ia yang mengantarkannya ke rumah sakit,” ungkap Umi Kulsum, tetangganya.
Senada disampaikan Nurhikmah. ”Kalau dilihat kan dia sudah repot karena mengurus banyak anak. Tapi kalau ada yang butuh bantuan, dia pasti akan membantu,” tuturnya.

Selain berjiwa sosial tinggi, Halimah juga dikenal sebagai orang yang religius. ”Setiap hari ia selalu berjamaah di masjid,” sambungnya.
Nurhikmah mengaku prihatin dengan keluarga ini. ”Pernah saya tanya, kok nggak KB. Kasihan anak-anak tidak terawat,” kata dia.

”Namun Halimah justru menjawab KB itu dosa. Nggak apa-apa diberi banyak anak, Tuhan pasti juga memberikan banyak rejeki,” katanya menirukan Halimah.
Memang ada yang bilang banyak anak akan dilapangkan rezeki. Tetapi bila banyak anak tetapi tidak bisa membahagiakan dan mendidik dengan baik, alangkah kelirunya.

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/04/25/107015/Kini-Menunggu-Kelahiran-Anak-Ke-22
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/04/26/107133/Sudah-Saya-Mandikan-Eh-Saya-Mandikan-Lagi

No comments:

Post a Comment