SIDOARJO - Pengusutan dugaan korupsi pengadaan lahan untuk pembangunan Gardu Induk PLN sebesar Rp 3,3 miliar bakal semakin melebar. Penyidik menemukan keterlibatan oknum lain terkait dengan jual beli tanah yang tidak prosedural itu.
Oknum tersebut adalah notaris yang mengeluarkan sejumlah akta penting. Dokumen itu digunakan sebagai dasar dalam proses jual beli antara warga, broker, dan PLN. "Ada kronologi yang janggal. Kami sudah punya buktinya," kata seorang sumber di lingkungan kejaksaan.
Kronologi itu mulai proses kesepakatan warga, jual beli, sampai pelepasan lahan. Berdasar data yang dihimpun Jawa Pos, proses jual beli lahan warga seluas 28.120 meter persegi di Desa Boro, Tanggulangin, Sidoarjo, tersebut diawali pada 29 November 2007.
Pada hari itu, Agus Sukiranto (broker tanah yang sudah ditetapkan sebagai tersangka) membuat kesepakatan dengan warga untuk membeli tanah mereka dengan harga Rp 110 ribu. Pada hari yang sama, muncul akta kuasa menjual tanah warga secara kolektif. Akta tersebut dikeluarkan seorang notaris di Sidoarjo.
Proses berlanjut pada 30 November 2007. Pada hari itu, terbit akta pelepasan hak kepemilikan tanah dari Agus kepada Slamet Hariyanto (anggota tim pengadaan tanah PLN). Dalam akta tersebut disebutkan bahwa Agus menghadap ke notaris pada tanggal itu untuk membuat berita acara akta tersebut.
Padahal, berdasar data yang dimiliki penyidik, pada 30 November 2007, Agus tercatat sedang menunaikan ibadah haji. Hal itu dibuktikan dengan bukti perjalanan yang saat ini sudah berada di tangan penyidik. "Tidak mungkin dalam waktu bersamaan, Agus berada di Makkah dan membuat akta di hadapan notaris," ucap sumber tersebut. Apalagi, dalam akta itu disebutkan bahwa pada tanggal tersebut, Agus dicatat menghadap ke notaris. Kasi Pidsus Kejari Sidoarjo Sugeng Riyanta saat dikonfirmasi membenarkan hal tersebut. Menurut dia, temuan itu saat ini masih dalam pengembangan penyidikan.
Sugeng menambahkan, proses jual beli yang melanggar aturan itu semakin kentara. Sebab, kesepakatan membeli lahan dengan harga Rp 225 ribu per meter pesegi tersebut dilakukan pada 27 November 2007. "Kesepakatan jual beli itu dibuat sebelum tanah tersebut ada. PLN tidak tahu di mana letak tanah dan bagaimana kondisinya," terangnya.
Jaksa yang pernah bertugas di Kejari Tanjung Perak itu menambahkan, hal tersebut terlihat setelah penyidik menemukan dokumen berbentuk akta yang berisi kesepakatan jual beli tanah. Dengan demikian, tim pengadaan lahan tidak menyurvei harga tanah sebenarnya. http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=126673
Oknum tersebut adalah notaris yang mengeluarkan sejumlah akta penting. Dokumen itu digunakan sebagai dasar dalam proses jual beli antara warga, broker, dan PLN. "Ada kronologi yang janggal. Kami sudah punya buktinya," kata seorang sumber di lingkungan kejaksaan.
Kronologi itu mulai proses kesepakatan warga, jual beli, sampai pelepasan lahan. Berdasar data yang dihimpun Jawa Pos, proses jual beli lahan warga seluas 28.120 meter persegi di Desa Boro, Tanggulangin, Sidoarjo, tersebut diawali pada 29 November 2007.
Pada hari itu, Agus Sukiranto (broker tanah yang sudah ditetapkan sebagai tersangka) membuat kesepakatan dengan warga untuk membeli tanah mereka dengan harga Rp 110 ribu. Pada hari yang sama, muncul akta kuasa menjual tanah warga secara kolektif. Akta tersebut dikeluarkan seorang notaris di Sidoarjo.
Proses berlanjut pada 30 November 2007. Pada hari itu, terbit akta pelepasan hak kepemilikan tanah dari Agus kepada Slamet Hariyanto (anggota tim pengadaan tanah PLN). Dalam akta tersebut disebutkan bahwa Agus menghadap ke notaris pada tanggal itu untuk membuat berita acara akta tersebut.
Padahal, berdasar data yang dimiliki penyidik, pada 30 November 2007, Agus tercatat sedang menunaikan ibadah haji. Hal itu dibuktikan dengan bukti perjalanan yang saat ini sudah berada di tangan penyidik. "Tidak mungkin dalam waktu bersamaan, Agus berada di Makkah dan membuat akta di hadapan notaris," ucap sumber tersebut. Apalagi, dalam akta itu disebutkan bahwa pada tanggal tersebut, Agus dicatat menghadap ke notaris. Kasi Pidsus Kejari Sidoarjo Sugeng Riyanta saat dikonfirmasi membenarkan hal tersebut. Menurut dia, temuan itu saat ini masih dalam pengembangan penyidikan.
Sugeng menambahkan, proses jual beli yang melanggar aturan itu semakin kentara. Sebab, kesepakatan membeli lahan dengan harga Rp 225 ribu per meter pesegi tersebut dilakukan pada 27 November 2007. "Kesepakatan jual beli itu dibuat sebelum tanah tersebut ada. PLN tidak tahu di mana letak tanah dan bagaimana kondisinya," terangnya.
Jaksa yang pernah bertugas di Kejari Tanjung Perak itu menambahkan, hal tersebut terlihat setelah penyidik menemukan dokumen berbentuk akta yang berisi kesepakatan jual beli tanah. Dengan demikian, tim pengadaan lahan tidak menyurvei harga tanah sebenarnya. http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=126673
No comments:
Post a Comment