SIDOARJO - Semakin tingginya cukai rokok membuat puluhan perusahaan rokok di Sidoarjo gulung tikar. Pada awal 2000-an, jumlah perusahaan rokok mencapai 201. Kini jumlahnya menyusut drastis tinggal hanya 82 perusahaan. ''Ini kami perkirakan bakal menyusut lagi sampai 20 persen pada akhir tahun nanti,'' ungkap Sekertaris I Asosiasi Perusahaan Rokok Sidoarjo (Apersid) Amin Wahyu Hidayat.
Dari jumlah tersebut tidak semuanya perusahaan rokok yang aktif. Hampir separo merupakan perusahaan yang setengah aktif. Artinya, selama tiga sampai enam bulan perusahaan itu berproduksi. Namun, beberapa bulan berikutnya mereka berhenti produksi.
Rontoknya usaha rokok di Sidaorjo sebagian besar disebabkan regulasi pemerintah. Sebelumnya, terang Amin, aturan pemerintah terkait dengan perusahanan rokok tidak begitu ketat. Namun, belakangan ini aturan-aturan yang keluar benar-benar membebani perusahaan.
Misalnya, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 181 Tahun 2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. "Dalam regulasi tersebut tarif cukai naik hingga 60 persen, padahal toleransi perusahaan rokok kecil hanya 25-30 persen,'' ungkapnya.
Selain itu, aturan yang terkait dengan luas lahan yang harus dimiliki perusahaan rokok menjadi kendala tersendiri. Dulu, untuk mendirikan sebuah perusahaan rokok, luas lahan yang dimiliki cukup 50 meter persegi. Saat ini luasnya minimal 200 meter persegi. Aturan itu harus dipenuhi perusahaan rokok yang masih berdiri. Mereka diberi batas waktu hingga akhir tahun.
Di sisi lain, staf Perdagangan Dinas Koperasi Industri Perdagangan dan Usaha Kecil Menengah (Diskopperindag dan UKM) Sidoarjo Kasijono mengungkapkan bahwa tutupnya beberapa perusahaan rokok itu membawa imbas tersendiri. Yaitu, pengangguran semakin banyak.
Saat ini Pemkab Sidoarjo berusaha mencarikan solusi atas nasib mereka. Yakni, mengusulkan pelatihan bagi para karyawan yang di-PHK. Mulai pelatihan pembuatan tas, bengkel, serta kerajinan lain. ''Saat ini masih kami usulkan pendanaannya,'' tegas Kasijono. http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=126668
Dari jumlah tersebut tidak semuanya perusahaan rokok yang aktif. Hampir separo merupakan perusahaan yang setengah aktif. Artinya, selama tiga sampai enam bulan perusahaan itu berproduksi. Namun, beberapa bulan berikutnya mereka berhenti produksi.
Rontoknya usaha rokok di Sidaorjo sebagian besar disebabkan regulasi pemerintah. Sebelumnya, terang Amin, aturan pemerintah terkait dengan perusahanan rokok tidak begitu ketat. Namun, belakangan ini aturan-aturan yang keluar benar-benar membebani perusahaan.
Misalnya, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 181 Tahun 2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. "Dalam regulasi tersebut tarif cukai naik hingga 60 persen, padahal toleransi perusahaan rokok kecil hanya 25-30 persen,'' ungkapnya.
Selain itu, aturan yang terkait dengan luas lahan yang harus dimiliki perusahaan rokok menjadi kendala tersendiri. Dulu, untuk mendirikan sebuah perusahaan rokok, luas lahan yang dimiliki cukup 50 meter persegi. Saat ini luasnya minimal 200 meter persegi. Aturan itu harus dipenuhi perusahaan rokok yang masih berdiri. Mereka diberi batas waktu hingga akhir tahun.
Di sisi lain, staf Perdagangan Dinas Koperasi Industri Perdagangan dan Usaha Kecil Menengah (Diskopperindag dan UKM) Sidoarjo Kasijono mengungkapkan bahwa tutupnya beberapa perusahaan rokok itu membawa imbas tersendiri. Yaitu, pengangguran semakin banyak.
Saat ini Pemkab Sidoarjo berusaha mencarikan solusi atas nasib mereka. Yakni, mengusulkan pelatihan bagi para karyawan yang di-PHK. Mulai pelatihan pembuatan tas, bengkel, serta kerajinan lain. ''Saat ini masih kami usulkan pendanaannya,'' tegas Kasijono. http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=126668
No comments:
Post a Comment