Wednesday, April 7, 2010

Kulit Putih dan Hitam Nyaris Bentrok Sidang Pembunuhan Tokoh Neo-Nazi Afsel

Ketegangan mewarnai persidangan pertama kasus pembunuhan Eugene Terre'Blanche, pemimpin organisasi beraliran neo-Nazi Afrika Selatan Afrikaner Weerstandsbeweging (AWB), kemarin. Sekitar dua ribu orang pendukung AWB yang kulit putih dan suporter Kongres Nasional Afrika (ANC) yang kulit hitam saling berhadapan dan nyaris terlibat bentrok fisik.

Ketegangan berawal ketika kedua kelompok itu menyanyikan lagu kebangsaan Afsel dalam versi masing-masing yang intinya menghina lawan. Pro-AWB bernyanyi dalam bahasa Afrikaans. Inti nyanyian mereka adalah kenangan pada era apartheid yang mengunggulkan supremasi kulit putih. Kelompok kulit putih juga mengibarkan bendera yang menandai penindasan kepada kulit hitam.

Sedangkan pro-ANC -partai berkuasa di Afsel-berdendang dalam bahasa Zulu, etnis mayoritas di negeri di ujung Benua Afrika tersebut. Salah satu lirik dalam lagu pendukung ANC itu berbunyi, ''bunuh si kulit putih''.

Suasana makin panas ketika seorang perempuan kulit putih setengah baya menyemprotkan minuman bersoda ke arah kelompok kulit hitam. Polisi pun harus bekerja keras melerai mereka.

Untuk menghindari pertikaian lebih lanjut, aparat keamanan segera memasang kawat berduri yang memisahkan kedua kelompok tersebut. Ketegangan agak mereda setelah Peter Steyn, pemimpin AWB cabang Ventersdorp, meminta anggotanya tenang.

''Semua anggota (AWB) kami minta untuk menahan diri dari segala macam kekerasan. Segera setelah proses pengadilan selesai kami semua akan bubar dan pulang. Dan, berkumpul lagi pada Jumat untuk pemakaman,'' ujar Steyn seperti dikutip AFP. Belakangan, Steyn juga meminta maaf atas ulah anggotanya yang menyemprotkan minuman tersebut.

Terre'Blanche dibunuh dua pria kulit hitam, satu berumur 15 tahun dan satunya lagi 28 tahun. Dia dianaiaya hingga tewas ketika tidur di rumahnya di Ventersdorp, selatan Johannesburg, pada Minggu lalu (4/4).

Kedua pria penganiaya itu ternyata pekerja di ladang Terre'Blanche. Mereka mengaku membunuh majikan berusia 69 tahun itu karena jengkel tidak dibayar setelah bekerja di ladang.

Identitas kedua pria itu dirahasiakan hingga kemarin. Persidangan berlangsung tertutup karena salah seorang terdakwa masih di bawah umur. Meski sepanjang hidupnya dikenal rasis dan provokator, kematian Terre'Blanche tak pelak memicu kekhawatiran bakal meletusnya kerusuhan rasial.

Apalagi, AWB, kelompok pengusung supremasi kulit putih yang berjaya di perpolitikan Afsel pada era 1970 dan 1980-an, sudah berjanji untuk balas dendam. Padahal, sepuluh pekan lagi Afsel akan menjadi tuan rumah even olahraga terbesar sejagat, Piala Dunia 2010.

Menzi Simelane, juru bicara tim jaksa penuntut, mengatakan bahwa besar kemungkinan pengadilan akan menjadwalkan sidang baru sementara investigasi terus berlanjut. Jaksa juga telah mengadakan pertemuan informal dengan pendukung Terre'Blanche serta masyarakat kulit hitam. Tujuannya, menjelaskan perubahan terbaru dalam prosedur pengadilan ketika ada anak-anak yang terlibat kasus pembunuhan.

Sementara itu, insiden pembunuhan Terre'Blanche membuat banyak warga Afsel berpikir bahwa perbedaan antara kuilt putih dan kulit hitam tak akan pernah bisa disatukan. ''Anda tak bisa memaksa menyatukan dua kelompok berbeda di dalam satu negara. Itu adalah mimpi yang naïf. Solusinya hanya satu, tanah air yang terpisah,'' kata Tiaan Therin, warga Beaufort Barat, yang terletak beberapa kilometer dari Ventersdorp, seperti dikutip AFP.

Pendapat berbeda diungkapkan Bomber Matinyane, direktur regional sebuah kelompok pembela hak-hak sipil. Menurut dia, untuk meredakan pertikaian, kelompok AWB harus berhenti melambaikan bendera mereka dan warga kulit hitam harus berhenti menyanyikan lagu perjuangan yang bersifat menghasut dan provokatif.

http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=126878

No comments:

Post a Comment